Hindu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berperilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Ada tiga jenis tingkah laku yang disucikan yang dalam Ajaran Hindu disebut Tri Kaya Parisudha.
Tri Kaya Parisudha terdiri dari Manacika Parisudha, Wacika Parisudha, dan Kayika Parisudha. Manacika Parisudha artinya umat Hindu hendaknya senantiasa mempunyai pikiran-pikiran yang baik, yang positif, dan benar.
Kamis, 31 Desember 2009
Senin, 30 November 2009
Catur Paramitha
Hindu mempunyai ajaran yang sangat mulia dalam menuntun umatnya untuk berperilaku yang baik dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Ajaran yang disebut Catur Paramitha itu terdiri dari Maitri, Karuna, Mudita, dan Upeksa.
Maitri artinya dalam kehidupan sehari-hari hendaknya umat Hindu menganggap bahwa setiap orang adalah sahabat. Kita diajarkan untuk selalu bersikap bersahabat kepada siapapun. Sikap bersahabat ini, jika berhasil kita terapkan, akan menciptakan kedamaian dalam hidup. Sejatinya tidak ada musuh di luar diri kita karena sesungguhnya musuh itu bercokol dalam diri setiap orang.
Apapun perilaku orang lain terhadap kita, sebagai seorang sahabat sejati, kita akan tetap menresponnya bagaiamana layaknya seorang sahabat. Jika sahabat kita melakukan kesalahan, kita tidak akan mendendam ataupun membencinya. Malahan kita akan segera bisa memaafkannya.
Membenci ataupun dendam terhadap seseorang akan menimbulkan beban berat pada kita. Beban tersebut akan terus kita pikul dalam perjalanana ke manapun kita pergi. Sebaliknya, memaafkan berarti membebaskan kita dari beban berat. Dengan memaafkan, beban itu akan lepas, sehingga kita akan lega kembali. Sikap ini akan nampak jika kita menganggap bahwa semua orang adalah sahabat (Maitri).
Ajaran kedua adalah Karuna yang berarti kasih sayang atau cinta kasih. Hindu mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengembangkan sifat cinta kasih atau kasih sayang kepada siapapun. Energi kasih merupakan energi positif yang memiliki tingkat yang sangat tinggi, jauh di atas energi yang dihasilkan oleh rasa kebencian. Energi kasih yang terpancar akan sanggup menetralkan energi-energi negatif, baik yang ada dalam tubuh kita, maupun energi negatif yang ada di sekitar kita.
Karena energi kasih ini tingkatannya sangat tinggi, energi ini dapat menyehatkan tubuh. Aliran darah menjadi lancar. Kadar gula, asam urat, kolesterol, dan asam lambung, serta zat-zat yang lainnya yang berada dalam tubuh manusia menjadi normal. Bahkan, energi kasih ini juga dapat menyembuhkan penyakit, baik penyakit pada tubuh kita sendiri, maupun penyakit pada tubuh orang lain. Dengan memancarkan energi kasih seseorang dapat menetralkan energi-energi yang dimiliki orang lain. Hal ini sangat tergantung dengan seberapa kuat pancaran energi kasih yang dihasilkan seseorang.
Energi kasih ini bahkan dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia serumit apapun itu. Dengan mengucapkan bahwa Anda mengasihi problem yang menimpa diri Anda, inspirasi akan timbul sebagai jalan untuk mendapatkan solusinya. Silakan dibuktikan.
Ajaran Mudita mengarahkan umat Hindu agar senantiasa bergembira dalam hidup ini. Perasaan gembira akan membuat hidup lebih bergairah. Aliran darahpun akan semakin lancar. Sebaliknya, jika kita dirundung kesedihan, dampaknya tidak bagus buat kesehatan tubuh. Rasa sedih akan memancarkan energi negatif, tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada tubuh kita sendiri. Sirkulasi darah menjadi terganggu. Kandungan zat-zat yang diperlukan tubuh menjadi tidak normal. Hal ini akan mengundang datangnya berbagai penyakit pada tubuh.
Bergembira maupun bersedih merupakan pilihan hidup. Kita sebagai manusia diberikan kebebasan untuk memilih. Oleh karena itu, meminjam istilah dari sebuah iklan minuman, apapun kejadiannya, perasaan kita tetap: BERGEMBIRA. Inilah ajaran Mudita.
Setelah ketiga ajaran tersebut kita terapkan dalam hidup sehari-hari, rasanya kurang lengkap jika kita tidak melaksanakan ajaran Catur Paramitha yang terakhir, yakni Upeksa yang berarti hendaknya kita senantiasa menghargai orang lain. Penghargaan terhadap orang lain merupakan sikap yang patut dikembangkan.
Salah satu kebutuhan hidup manusia adalah perasaan dihargai. Dengan menghargai orang lain, kita sudah ikut memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya. Penghargaan merupakan salah satu bentuk pemberian (dana) yang tak ternilaikan. Kalau kita ingin dihargai orang lain, maka tindakan utama yang harus dilakukan adalah menghargai orang lain.
Demikianlah ajaran Catur Paramitha merupakan ajaran yang sangat adhiluhung yang patut kita kembangkan dalam kehidupan sehari-hari.
Maitri artinya dalam kehidupan sehari-hari hendaknya umat Hindu menganggap bahwa setiap orang adalah sahabat. Kita diajarkan untuk selalu bersikap bersahabat kepada siapapun. Sikap bersahabat ini, jika berhasil kita terapkan, akan menciptakan kedamaian dalam hidup. Sejatinya tidak ada musuh di luar diri kita karena sesungguhnya musuh itu bercokol dalam diri setiap orang.
Apapun perilaku orang lain terhadap kita, sebagai seorang sahabat sejati, kita akan tetap menresponnya bagaiamana layaknya seorang sahabat. Jika sahabat kita melakukan kesalahan, kita tidak akan mendendam ataupun membencinya. Malahan kita akan segera bisa memaafkannya.
Membenci ataupun dendam terhadap seseorang akan menimbulkan beban berat pada kita. Beban tersebut akan terus kita pikul dalam perjalanana ke manapun kita pergi. Sebaliknya, memaafkan berarti membebaskan kita dari beban berat. Dengan memaafkan, beban itu akan lepas, sehingga kita akan lega kembali. Sikap ini akan nampak jika kita menganggap bahwa semua orang adalah sahabat (Maitri).
Ajaran kedua adalah Karuna yang berarti kasih sayang atau cinta kasih. Hindu mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengembangkan sifat cinta kasih atau kasih sayang kepada siapapun. Energi kasih merupakan energi positif yang memiliki tingkat yang sangat tinggi, jauh di atas energi yang dihasilkan oleh rasa kebencian. Energi kasih yang terpancar akan sanggup menetralkan energi-energi negatif, baik yang ada dalam tubuh kita, maupun energi negatif yang ada di sekitar kita.
Karena energi kasih ini tingkatannya sangat tinggi, energi ini dapat menyehatkan tubuh. Aliran darah menjadi lancar. Kadar gula, asam urat, kolesterol, dan asam lambung, serta zat-zat yang lainnya yang berada dalam tubuh manusia menjadi normal. Bahkan, energi kasih ini juga dapat menyembuhkan penyakit, baik penyakit pada tubuh kita sendiri, maupun penyakit pada tubuh orang lain. Dengan memancarkan energi kasih seseorang dapat menetralkan energi-energi yang dimiliki orang lain. Hal ini sangat tergantung dengan seberapa kuat pancaran energi kasih yang dihasilkan seseorang.
Energi kasih ini bahkan dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia serumit apapun itu. Dengan mengucapkan bahwa Anda mengasihi problem yang menimpa diri Anda, inspirasi akan timbul sebagai jalan untuk mendapatkan solusinya. Silakan dibuktikan.
Ajaran Mudita mengarahkan umat Hindu agar senantiasa bergembira dalam hidup ini. Perasaan gembira akan membuat hidup lebih bergairah. Aliran darahpun akan semakin lancar. Sebaliknya, jika kita dirundung kesedihan, dampaknya tidak bagus buat kesehatan tubuh. Rasa sedih akan memancarkan energi negatif, tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada tubuh kita sendiri. Sirkulasi darah menjadi terganggu. Kandungan zat-zat yang diperlukan tubuh menjadi tidak normal. Hal ini akan mengundang datangnya berbagai penyakit pada tubuh.
Bergembira maupun bersedih merupakan pilihan hidup. Kita sebagai manusia diberikan kebebasan untuk memilih. Oleh karena itu, meminjam istilah dari sebuah iklan minuman, apapun kejadiannya, perasaan kita tetap: BERGEMBIRA. Inilah ajaran Mudita.
Setelah ketiga ajaran tersebut kita terapkan dalam hidup sehari-hari, rasanya kurang lengkap jika kita tidak melaksanakan ajaran Catur Paramitha yang terakhir, yakni Upeksa yang berarti hendaknya kita senantiasa menghargai orang lain. Penghargaan terhadap orang lain merupakan sikap yang patut dikembangkan.
Salah satu kebutuhan hidup manusia adalah perasaan dihargai. Dengan menghargai orang lain, kita sudah ikut memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya. Penghargaan merupakan salah satu bentuk pemberian (dana) yang tak ternilaikan. Kalau kita ingin dihargai orang lain, maka tindakan utama yang harus dilakukan adalah menghargai orang lain.
Demikianlah ajaran Catur Paramitha merupakan ajaran yang sangat adhiluhung yang patut kita kembangkan dalam kehidupan sehari-hari.
Senin, 12 Oktober 2009
Hari Raya Galungan: Hari Merayakan Kesuksesan
Om Suastiastu,
Sebentar lagi umat Hindu Indonesia yang berada di seluruh dunia merayakan Hari Raya Galungan. Perayaan ini merupakan bentuk rasa syukur umat Hindu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kemenangan yang diraihnya selama ini. Bagaimana umat Hindu memaknai hari kemenangan ini dalam konteks kehidupan sehari-hari?
Kemenangan dalam hal tertentu berarti kesuksesan. Kesuksesan bermakna pencapaian-pencapaian yang telah berhasil didapat atau diraih. Seseorang dikatakan sukses apabila dia berhasil mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Misalnya seorang pembalap ingin menjadi juara pertama dalam sebuah kejuaraan. Pada saat juara satu benar-benar digondolnya, maka orang tersebut dapat dikatakan sudah sukses.
Demikian juga seorang pengendara sepeda motor ketika mengendarai sepeda motornya di jalan raya menjumpai genangan air yang cukup tinggi yang menghadang perjalanannya. Keinginan dia saat itu hanya satu, yakni berhasil melewati genangan tersebut dengan selamat. Jika dia berhasil melewatinya, maka dia dapat disebut telah sukses menyeberangi genangan air, walaupun air yang tergenang cukup tinggi.
Contoh paling sederhana dapat ditunjukkan ketika seorang anak TK diajarkan cara menggunting kertas. Anak tersebut kemudian diminta untuk menggunting selembar kertas. Begitu si anak TK tersebut berhasil memotong kertas menjadi dua bagian dengan menggunakan gunting, maka dia sudah bisa disebut sukses menggunting kertas tersebut.
Sebenarnya sangat banyak kesuksesan yang telah kita raih dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, kita sering kali tidak mengakuinya, apalagi merayakannya. Hal ini terjadi karena kita sering terlalu tinggi memberikan standar kesuksesan. Kesuksesan seseorang sering dikaitkan dengan kepemilikan harta yang banyak ataupun jabatan yang tinggi. Pandangan seperti ini menyebabkan kita tidak menyadari bahwa sejatinya kita sudah sukses. Setiap pencapaian, sekecil apapun, adalah kesuksesan. Akumulasi dari kesuksesan-kesuksesan kecil akan membentuk kesuksesan yang lebih besar.
Melalui perayaan Hari Raya Galungan kali ini, kita sesungguhnya dilatih untuk mengakui bahwa kita sejatinya sudah sukses. Kita dilatih untuk senantiasa bersyukur atas kesuksesan-kesuksesan yang sudah diraih. Pengakuan kesuksesan dengan cara bersyukur ini diyakini akan mengundang lebih banyak lagi bentuk kesuksesan yang lain. Hal ini sesuai dengan salah satu hukum alam (Rta) yang berlaku universal dan netral, yakni Law of Attraction (Hukum Ketertarikan).
Menurut Hukum Ketertarikan, apa yang kita pikirkan secara fokus akan mampu menarik hal-hal serupa dari alam semesta. Kalau kita memikirkan kesuksesan secara fokus, maka kita akan menarik kesuksesan-kesuksesan berikutnya. Terlebih-lebih kita bisa mensyukurinya. Rasa syukur akan kesuksesan yang telah kita raih merupakan bentuk ekspresi bahwa kita sudah sukses. Dengan kata lain, mensyukuri kesuksesan berarti kita memproklamasikan kepada alam semesta dan alam bawah sadar bahwa kita sudah sukses. Hal ini akan menarik hal-hal yang ada dalam alam semesta untuk mendukung kita mendapatkan kesuksesan-kesuksesan yang lain yang mungkin lebih besar dari kesuksesan yang telah diraih sebelumnya.
Sebaliknya, apabila kita tidak mau mengakui kesuksesan yang telah diraih, bahkan mengeluhkan kegagalan-kegagalan yang dialami, maka hal ini akan mengundang (menarik) bentuk kegagalan-kegagalan yang lainnya. Ingatlah bahwa dengan mengeluh, kita sejatinya telah mengundang dan menarik hal-hal yang dikeluhkan untuk terjadi pada diri kita dan terus terjadi.
Di samping itu, mengeluh merupakan salah satu penyakit yang dapat menular. Coba perhatikan dan renungkan jika ada orang yang mengeluhkan sesuatu kepada kita. Setelah orang itu mengeluarkan keluhannya, biasanya kita akan bersimpati kepadanya. Tanpa disadari, kita pun akan ikut mengeluhkan sesuatu sebagai ungkapan bentuk rasa simpati kita terhadap dirinya.
Karena kita tahu bahwa di samping merupakan penyakit menular, mengeluh dapat menarik semakin banyak hal-hal yang kita keluhkan untuk terjadi dan terus terjadi pada kita, marilah kita melatih diri untuk sedapat mungkin menghindar dari aktivitas mengeluh ini. Sebagai lawan dari mengeluh, marilah kita membiasakan diri untuk senantiasa bersyukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atas kesuksesan-kesuksesan, sekecil apapun, yang telah kita raih.
Selama bertahun-tahun kita sudah merayakan Hari Raya Galungan dan selama itu pula kita memaknainya sebagai hari kemenangan Dharma atas Adharma. Terkadang kita tidak dapat mendefinisikan secara jelas, kemenangan yang mana yang kita rayakan. Untuk itu, marilah kita maknai Hari Raya Galungan sebagai hari kemenangan yang berarti pula sebagai hari merayakan kesuksesan-kesuksesan yang telah berhasil diraih. Dengan merayakan dan angayubagia (bersyukur) atas kesuksesan-kesuksesan yang telah diraih, hal ini akan menarik lebih banyak lagi kesuksesan-kesuksesan yang lain, bahkan kesuksesan-kesuksesan yang lebih besar.
Akhirnya, Selamat Hari Raya Galungan. Selamat Merayakan Kesuksesan. Yakinlah, kesuksesan demi kesuksesan sudah menanti Anda.
Om Shanti Shanti Shanti Om.
Sebentar lagi umat Hindu Indonesia yang berada di seluruh dunia merayakan Hari Raya Galungan. Perayaan ini merupakan bentuk rasa syukur umat Hindu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kemenangan yang diraihnya selama ini. Bagaimana umat Hindu memaknai hari kemenangan ini dalam konteks kehidupan sehari-hari?
Kemenangan dalam hal tertentu berarti kesuksesan. Kesuksesan bermakna pencapaian-pencapaian yang telah berhasil didapat atau diraih. Seseorang dikatakan sukses apabila dia berhasil mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Misalnya seorang pembalap ingin menjadi juara pertama dalam sebuah kejuaraan. Pada saat juara satu benar-benar digondolnya, maka orang tersebut dapat dikatakan sudah sukses.
Demikian juga seorang pengendara sepeda motor ketika mengendarai sepeda motornya di jalan raya menjumpai genangan air yang cukup tinggi yang menghadang perjalanannya. Keinginan dia saat itu hanya satu, yakni berhasil melewati genangan tersebut dengan selamat. Jika dia berhasil melewatinya, maka dia dapat disebut telah sukses menyeberangi genangan air, walaupun air yang tergenang cukup tinggi.
Contoh paling sederhana dapat ditunjukkan ketika seorang anak TK diajarkan cara menggunting kertas. Anak tersebut kemudian diminta untuk menggunting selembar kertas. Begitu si anak TK tersebut berhasil memotong kertas menjadi dua bagian dengan menggunakan gunting, maka dia sudah bisa disebut sukses menggunting kertas tersebut.
Sebenarnya sangat banyak kesuksesan yang telah kita raih dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, kita sering kali tidak mengakuinya, apalagi merayakannya. Hal ini terjadi karena kita sering terlalu tinggi memberikan standar kesuksesan. Kesuksesan seseorang sering dikaitkan dengan kepemilikan harta yang banyak ataupun jabatan yang tinggi. Pandangan seperti ini menyebabkan kita tidak menyadari bahwa sejatinya kita sudah sukses. Setiap pencapaian, sekecil apapun, adalah kesuksesan. Akumulasi dari kesuksesan-kesuksesan kecil akan membentuk kesuksesan yang lebih besar.
Melalui perayaan Hari Raya Galungan kali ini, kita sesungguhnya dilatih untuk mengakui bahwa kita sejatinya sudah sukses. Kita dilatih untuk senantiasa bersyukur atas kesuksesan-kesuksesan yang sudah diraih. Pengakuan kesuksesan dengan cara bersyukur ini diyakini akan mengundang lebih banyak lagi bentuk kesuksesan yang lain. Hal ini sesuai dengan salah satu hukum alam (Rta) yang berlaku universal dan netral, yakni Law of Attraction (Hukum Ketertarikan).
Menurut Hukum Ketertarikan, apa yang kita pikirkan secara fokus akan mampu menarik hal-hal serupa dari alam semesta. Kalau kita memikirkan kesuksesan secara fokus, maka kita akan menarik kesuksesan-kesuksesan berikutnya. Terlebih-lebih kita bisa mensyukurinya. Rasa syukur akan kesuksesan yang telah kita raih merupakan bentuk ekspresi bahwa kita sudah sukses. Dengan kata lain, mensyukuri kesuksesan berarti kita memproklamasikan kepada alam semesta dan alam bawah sadar bahwa kita sudah sukses. Hal ini akan menarik hal-hal yang ada dalam alam semesta untuk mendukung kita mendapatkan kesuksesan-kesuksesan yang lain yang mungkin lebih besar dari kesuksesan yang telah diraih sebelumnya.
Sebaliknya, apabila kita tidak mau mengakui kesuksesan yang telah diraih, bahkan mengeluhkan kegagalan-kegagalan yang dialami, maka hal ini akan mengundang (menarik) bentuk kegagalan-kegagalan yang lainnya. Ingatlah bahwa dengan mengeluh, kita sejatinya telah mengundang dan menarik hal-hal yang dikeluhkan untuk terjadi pada diri kita dan terus terjadi.
Di samping itu, mengeluh merupakan salah satu penyakit yang dapat menular. Coba perhatikan dan renungkan jika ada orang yang mengeluhkan sesuatu kepada kita. Setelah orang itu mengeluarkan keluhannya, biasanya kita akan bersimpati kepadanya. Tanpa disadari, kita pun akan ikut mengeluhkan sesuatu sebagai ungkapan bentuk rasa simpati kita terhadap dirinya.
Karena kita tahu bahwa di samping merupakan penyakit menular, mengeluh dapat menarik semakin banyak hal-hal yang kita keluhkan untuk terjadi dan terus terjadi pada kita, marilah kita melatih diri untuk sedapat mungkin menghindar dari aktivitas mengeluh ini. Sebagai lawan dari mengeluh, marilah kita membiasakan diri untuk senantiasa bersyukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atas kesuksesan-kesuksesan, sekecil apapun, yang telah kita raih.
Selama bertahun-tahun kita sudah merayakan Hari Raya Galungan dan selama itu pula kita memaknainya sebagai hari kemenangan Dharma atas Adharma. Terkadang kita tidak dapat mendefinisikan secara jelas, kemenangan yang mana yang kita rayakan. Untuk itu, marilah kita maknai Hari Raya Galungan sebagai hari kemenangan yang berarti pula sebagai hari merayakan kesuksesan-kesuksesan yang telah berhasil diraih. Dengan merayakan dan angayubagia (bersyukur) atas kesuksesan-kesuksesan yang telah diraih, hal ini akan menarik lebih banyak lagi kesuksesan-kesuksesan yang lain, bahkan kesuksesan-kesuksesan yang lebih besar.
Akhirnya, Selamat Hari Raya Galungan. Selamat Merayakan Kesuksesan. Yakinlah, kesuksesan demi kesuksesan sudah menanti Anda.
Om Shanti Shanti Shanti Om.
Selasa, 15 September 2009
Gamelan Bali
Om Suastiastu,
Sambil mendalami ajaran Hindu, alangkah baiknya jika diiringi dengan suara gambelan gong, baik itu berupa Tabuh Kreasi Baru, maupun Tabuh Lelambatan. Untuk itu, saya persilakan Anda untuk mengunduh beberapa file di bawah ini.
TABUH LELAMBATAN
1. Tabuh Pat Jagul
2. Tabuh Pat Semarandana
3. Tabuh Merak Kuning
4. Tabuh Gilak
5. Tabuh Pat Subandar
6. Tabuh Lelambatan
GONG KEBYAR
1. Kebyar Labuh Tiga
2. Kebyar Jengah Erang
3. Kreasi Baru Gita Kesuma
Sambil mendalami ajaran Hindu, alangkah baiknya jika diiringi dengan suara gambelan gong, baik itu berupa Tabuh Kreasi Baru, maupun Tabuh Lelambatan. Untuk itu, saya persilakan Anda untuk mengunduh beberapa file di bawah ini.
TABUH LELAMBATAN
1. Tabuh Pat Jagul
2. Tabuh Pat Semarandana
3. Tabuh Merak Kuning
4. Tabuh Gilak
5. Tabuh Pat Subandar
6. Tabuh Lelambatan
GONG KEBYAR
1. Kebyar Labuh Tiga
2. Kebyar Jengah Erang
3. Kreasi Baru Gita Kesuma
Kamis, 10 September 2009
Untuk Siapa Kita Berdana Punia?
Seorang wanita yang kebetulan adalah karyawati perusahaan swasta di Jakarta, ngomel terus di hadapan suaminya saat sehabis membaca sebuah berita di koran. Berita tersebut rupanya sangat menyesakkan dadanya. "Ayah, coba baca berita di koran ini!" pintanya kepada sang suami. "Selama ini percuma saya telah memberikan uang kepada pengemis di jalanan." Menurut berita itu, rupanya uang itu diserahkan kepada koordinatornya dan oleh sang koordinator uang hasil mengemis itu digunakan untuk foya-foya.
"Sudahlah, Ibu tidak usah uring-uringan seperti itu! Dulu katanya ikhlas memberi kepada mereka, para pengemis. Mengapa sekarang diributkan?". Sang suami mencoba menenangkan istrinya.
"Sudahlah, Ibu tidak usah uring-uringan seperti itu! Dulu katanya ikhlas memberi kepada mereka, para pengemis. Mengapa sekarang diributkan?". Sang suami mencoba menenangkan istrinya.
Kamis, 03 September 2009
Catur Warna: Benarkah Menghambat Perkembangan Hindu?
Om Suastiastu,
Sehabis menyantap hidangan makan malam di meja makan, seorang anak menanyakan sesuatu kepada ayahnya, seorang pengusaha sukses. “Ayah, apakah yang dimaksud dengan Catur Paramita? Terdiri dari apa saja dan apakah artinya masing-masing?” Sebelum pertanyaan berikutnya meluncur dari mulut anaknya, sang ayah buru-buru menjawab. “Nak, sebaiknya pertanyaan itu kamu tanyakan kepada guru agama di Pura. Mereka pasti lebih tahu daripada Ayah. Lagi pula, Ayah selama ini sibuk terus dengan urusan bisnis, sehingga tidak sempat mempelajari hal-hal seperti itu?”
Pada kesempatan lain, seorang pejabat penting di sebuah departemen yang kebetulan beragama Hindu diminta untuk memberikan Dharma Wacana dalam sebuah arisan keluarga. “Waduh, mohon maaf, saya belum bisa memberikan Dharma Wacana. Pemahaman agama saya masih kurang, belum seberapa dibandingkan dengan yang lain. Undang saja orang dari Departemen Agama, dari Parisada, ataupun Ida Pedanda sekalian supaya lebih mantap.”
Kedua fenomena di atas mungkin bisa menjadi gambaran yang mewakili sebagian umat Hindu yang hingga kini masih banyak yang tidak tertarik untuk mendalami ajaran Hindu. Jangankan mendalami, sekadar membaca-baca buku yang bernafaskan Hindu saja mungkin mereka tidak tertarik. Di mana sesungguhnya letak permasalahannya? Apakah ajaran Hindu memang tidak menarik? Ataukah cara penyajiannya yang kurang menarik? Jangan-jangan ada sesuatu yang menjadi penghambatnya.
Dalam agama Hindu terdapat ajaran Catur Warna yang selama ini dimaknai sebagai pembagian tugas dalam masyarakat yang terdiri dari empat bidang, yakni Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra. Brahmana adalah golongan masyarakat yang dalam kehidupan sehari-harinya mengantarkan upacara keagamaan, mendalami ajaran Hindu, serta melakukan pembinaan kerohanian kepada umat Hindu. Termasuk kelompok ini adalah para Sulinggih, Pinandita, dan guru agama Hindu.
Ksatria adalah golongan masyarakat yang bertugas melindungi masyarakat serta menjalankan pemerintahan. Para birokrat beserta jajarannya termasuk dalam golongan ini. Pada jaman dahulu yang termasuk golongan ini adalah raja, patih, punggawa, dan sejenisnya.
Kalau Ksatria bertugas menggerakkan roda pemerintahan, golongan Wesya adalah kelompok masyarakat yang bertugas menggerakkan roda perekonomian. Yang masuk kelompok ini adalah para pengusaha, pedagang, dan sejenisnya. Terakhir, golongan Sudra adalah golongan masyarakat yang bertugas melayani ketiga golongan di atas.
Penjelasan makna dari Catur Warna seperti di atas merupakan pemaknaan yang telah menjadi pegangan sebagian besar umat Hindu di Indonesia selama ini. Disadari atau tidak, pemaknaan demikian telah membagi dan mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan peran masing-masing golongan. Seperti contoh percakapan di atas, karena merasa dirinya seorang pengusaha yang termasuk kategori Wesya, orang tersebut merasa tidak perlu mendalami ajaran Hindu. Dia sudah merasa cukup berperan sebagai seorang Wesya. Urusan agama sudah ada yang menangani, yakni para guru agama Hindu di sekolah yang termasuk golongan Brahmana.
Demikian juga dengan fenomena pejabat tadi. Walaupun kariernya sebagai birokrat tergolong moncer, tetapi dia merasa minder dalam urusan ajaran agama. Sebenarnya peran sebagai seorang Ksatria sudah dijalaninya dengan sukses. Di samping sudah terbiasa memimpin rapat-rapat penting, pejabat tersebut juga dapat dengan lancarnya memberikan pengarahan-pengarahan kepada anak buahnya. Bahkan, wacana tentang nilai-nilai kehidupan terkadang muncul juga di sela-sela pengarahannya. Hal ini berarti pejabat tadi sesungguhnya sudah mumpuni untuk memberikan Dharma Wacana. Berbagai pengalaman sepanjang kariernya sebagai birokrat, jika dikaitkan dengan ajaran-ajaran yang dimiliki agama Hindu, merupakan bahan Dharma Wacana bagus yang dapat menginspirasi umat Hindu lainnya. Akan tetapi, akibat penghayatan terhadap Catur Warna yang telah melekat selama ini, pejabat tadi tidak tertarik untuk mempelajari agama karena mendalami ajaran agama adalah tugas seorang Brahmana.
Apakah kondisi tersebut akan kita biarkan terus berlangsung? Jawabannya pasti tidak. Untuk itu, marilah kita telusuri kembali secara cermat apa sesungguhnya makna Catur Warna.
Catur Warna sejatinya adalah empat warna atau fungsi yang melekat pada diri seseorang. Keempatnya melekat pada diri seseorang. Sebagai contoh adalah seorang ayah. Peran (fungsi) Brahmana wajib dilakoninya dalam rangka memberikan pendidikan agama kepada anak-anaknya. Seorang ayah bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan agama anaknya. Seorang ayah mesti ikut mengajarkan nilai-nilai keagamaan untuk anaknya. Kalau selama ini pendidikan agama Hindu diserahkan begitu saja kepada guru-guru agama, baik di sekolah maupun di Pesraman (Pura), maka mulai saat ini sebaiknya seorang ayah mulai ikut mengambil peran dan bertanggung jawab atas pendidikan agama bagi anak-anaknya. Peran Brahmana yang seharusnya melekat pada dirinya yang selama ini seolah-olah terabaikan, sebaiknya berangsur-angsur mulai dijalankan.
Di samping sebagai Brahmana, seorang ayah adalah juga seorang Ksatria. Dia adalah seorang kepala keluarga, pemimpin keluarga yang bertanggung jawab mengarahkan tujuan berumah tangga. Jiwa kepimpinan mesti dimiliki seorang ayah, sehingga mampu mengarahkan perjalanan hidup anggota keluarga lainnya menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
Seorang ayah adalah juga seorang Wesya yang bertanggung jawab memperoleh penghasilan untuk kelancaran perekonomian keluarga. Peran Wesya sangat sentral dalam keluarga. Ayahlah seharusnya yang menjadi penopang ekonomi keluarga. Kondisi finansial keluarga sangat berpengaruh terhadap kemajuan pendidikan anak-anaknya. Kondisi ekonomi yang mapan akan mampu menghantarkan keluarga menuju kemakmuran dan kesejahteraan.
Warna Sudra merupakan fungsi yang tidak kalah pentingnya bagi seorang ayah. Ayah harus bisa melayani kepentingan istri, anak, serta anggota keluarga lainnya. Peran sebagai pelayan bukan berarti merendahkan martabat seseorang. Melayani orang lain sejatinya adalah melayani diri sendiri. Aktivitas melayani akan mendorong tubuh untuk memproduksi hormon yang menyehatkan.
Berdasarkan uraian di atas, jelas-jelas terlihat bahwa Catur Warna melekat pada diri seseorang dan mesti dijalankan keempatnya, walaupun dengan porsi yang berbeda-beda. Khusus untuk Warna Brahmana, marilah kita mulai mendalami ajaran agama Hindu sebaik-baiknya. Mari kita maknai ajaran agama kita, sehingga dengan makna tersebut bisa mengantarkan kita menuju kehidupan yang lebih baik, lebih sukses, lebih bahagia, dan lebih sejahtera. Berdasarkan pemahaman yang kita dapatkan, marilah kita ajarkan kepada anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa. Di samping kepada anak-anak kita, pemahaman yang diperoleh tersebut dapat juga disampaikan kepada orang lain, baik di sampaikan secara langsung, maupun lewat tulisan. Yakinlah, apa yang kita sampaikan akan dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Sehabis menyantap hidangan makan malam di meja makan, seorang anak menanyakan sesuatu kepada ayahnya, seorang pengusaha sukses. “Ayah, apakah yang dimaksud dengan Catur Paramita? Terdiri dari apa saja dan apakah artinya masing-masing?” Sebelum pertanyaan berikutnya meluncur dari mulut anaknya, sang ayah buru-buru menjawab. “Nak, sebaiknya pertanyaan itu kamu tanyakan kepada guru agama di Pura. Mereka pasti lebih tahu daripada Ayah. Lagi pula, Ayah selama ini sibuk terus dengan urusan bisnis, sehingga tidak sempat mempelajari hal-hal seperti itu?”
Pada kesempatan lain, seorang pejabat penting di sebuah departemen yang kebetulan beragama Hindu diminta untuk memberikan Dharma Wacana dalam sebuah arisan keluarga. “Waduh, mohon maaf, saya belum bisa memberikan Dharma Wacana. Pemahaman agama saya masih kurang, belum seberapa dibandingkan dengan yang lain. Undang saja orang dari Departemen Agama, dari Parisada, ataupun Ida Pedanda sekalian supaya lebih mantap.”
Kedua fenomena di atas mungkin bisa menjadi gambaran yang mewakili sebagian umat Hindu yang hingga kini masih banyak yang tidak tertarik untuk mendalami ajaran Hindu. Jangankan mendalami, sekadar membaca-baca buku yang bernafaskan Hindu saja mungkin mereka tidak tertarik. Di mana sesungguhnya letak permasalahannya? Apakah ajaran Hindu memang tidak menarik? Ataukah cara penyajiannya yang kurang menarik? Jangan-jangan ada sesuatu yang menjadi penghambatnya.
Dalam agama Hindu terdapat ajaran Catur Warna yang selama ini dimaknai sebagai pembagian tugas dalam masyarakat yang terdiri dari empat bidang, yakni Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra. Brahmana adalah golongan masyarakat yang dalam kehidupan sehari-harinya mengantarkan upacara keagamaan, mendalami ajaran Hindu, serta melakukan pembinaan kerohanian kepada umat Hindu. Termasuk kelompok ini adalah para Sulinggih, Pinandita, dan guru agama Hindu.
Ksatria adalah golongan masyarakat yang bertugas melindungi masyarakat serta menjalankan pemerintahan. Para birokrat beserta jajarannya termasuk dalam golongan ini. Pada jaman dahulu yang termasuk golongan ini adalah raja, patih, punggawa, dan sejenisnya.
Kalau Ksatria bertugas menggerakkan roda pemerintahan, golongan Wesya adalah kelompok masyarakat yang bertugas menggerakkan roda perekonomian. Yang masuk kelompok ini adalah para pengusaha, pedagang, dan sejenisnya. Terakhir, golongan Sudra adalah golongan masyarakat yang bertugas melayani ketiga golongan di atas.
Penjelasan makna dari Catur Warna seperti di atas merupakan pemaknaan yang telah menjadi pegangan sebagian besar umat Hindu di Indonesia selama ini. Disadari atau tidak, pemaknaan demikian telah membagi dan mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan peran masing-masing golongan. Seperti contoh percakapan di atas, karena merasa dirinya seorang pengusaha yang termasuk kategori Wesya, orang tersebut merasa tidak perlu mendalami ajaran Hindu. Dia sudah merasa cukup berperan sebagai seorang Wesya. Urusan agama sudah ada yang menangani, yakni para guru agama Hindu di sekolah yang termasuk golongan Brahmana.
Demikian juga dengan fenomena pejabat tadi. Walaupun kariernya sebagai birokrat tergolong moncer, tetapi dia merasa minder dalam urusan ajaran agama. Sebenarnya peran sebagai seorang Ksatria sudah dijalaninya dengan sukses. Di samping sudah terbiasa memimpin rapat-rapat penting, pejabat tersebut juga dapat dengan lancarnya memberikan pengarahan-pengarahan kepada anak buahnya. Bahkan, wacana tentang nilai-nilai kehidupan terkadang muncul juga di sela-sela pengarahannya. Hal ini berarti pejabat tadi sesungguhnya sudah mumpuni untuk memberikan Dharma Wacana. Berbagai pengalaman sepanjang kariernya sebagai birokrat, jika dikaitkan dengan ajaran-ajaran yang dimiliki agama Hindu, merupakan bahan Dharma Wacana bagus yang dapat menginspirasi umat Hindu lainnya. Akan tetapi, akibat penghayatan terhadap Catur Warna yang telah melekat selama ini, pejabat tadi tidak tertarik untuk mempelajari agama karena mendalami ajaran agama adalah tugas seorang Brahmana.
Apakah kondisi tersebut akan kita biarkan terus berlangsung? Jawabannya pasti tidak. Untuk itu, marilah kita telusuri kembali secara cermat apa sesungguhnya makna Catur Warna.
Catur Warna sejatinya adalah empat warna atau fungsi yang melekat pada diri seseorang. Keempatnya melekat pada diri seseorang. Sebagai contoh adalah seorang ayah. Peran (fungsi) Brahmana wajib dilakoninya dalam rangka memberikan pendidikan agama kepada anak-anaknya. Seorang ayah bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan agama anaknya. Seorang ayah mesti ikut mengajarkan nilai-nilai keagamaan untuk anaknya. Kalau selama ini pendidikan agama Hindu diserahkan begitu saja kepada guru-guru agama, baik di sekolah maupun di Pesraman (Pura), maka mulai saat ini sebaiknya seorang ayah mulai ikut mengambil peran dan bertanggung jawab atas pendidikan agama bagi anak-anaknya. Peran Brahmana yang seharusnya melekat pada dirinya yang selama ini seolah-olah terabaikan, sebaiknya berangsur-angsur mulai dijalankan.
Di samping sebagai Brahmana, seorang ayah adalah juga seorang Ksatria. Dia adalah seorang kepala keluarga, pemimpin keluarga yang bertanggung jawab mengarahkan tujuan berumah tangga. Jiwa kepimpinan mesti dimiliki seorang ayah, sehingga mampu mengarahkan perjalanan hidup anggota keluarga lainnya menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
Seorang ayah adalah juga seorang Wesya yang bertanggung jawab memperoleh penghasilan untuk kelancaran perekonomian keluarga. Peran Wesya sangat sentral dalam keluarga. Ayahlah seharusnya yang menjadi penopang ekonomi keluarga. Kondisi finansial keluarga sangat berpengaruh terhadap kemajuan pendidikan anak-anaknya. Kondisi ekonomi yang mapan akan mampu menghantarkan keluarga menuju kemakmuran dan kesejahteraan.
Warna Sudra merupakan fungsi yang tidak kalah pentingnya bagi seorang ayah. Ayah harus bisa melayani kepentingan istri, anak, serta anggota keluarga lainnya. Peran sebagai pelayan bukan berarti merendahkan martabat seseorang. Melayani orang lain sejatinya adalah melayani diri sendiri. Aktivitas melayani akan mendorong tubuh untuk memproduksi hormon yang menyehatkan.
Berdasarkan uraian di atas, jelas-jelas terlihat bahwa Catur Warna melekat pada diri seseorang dan mesti dijalankan keempatnya, walaupun dengan porsi yang berbeda-beda. Khusus untuk Warna Brahmana, marilah kita mulai mendalami ajaran agama Hindu sebaik-baiknya. Mari kita maknai ajaran agama kita, sehingga dengan makna tersebut bisa mengantarkan kita menuju kehidupan yang lebih baik, lebih sukses, lebih bahagia, dan lebih sejahtera. Berdasarkan pemahaman yang kita dapatkan, marilah kita ajarkan kepada anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa. Di samping kepada anak-anak kita, pemahaman yang diperoleh tersebut dapat juga disampaikan kepada orang lain, baik di sampaikan secara langsung, maupun lewat tulisan. Yakinlah, apa yang kita sampaikan akan dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Rabu, 02 September 2009
PITRA PUJA
Om Swarganthu Pitaro Dewa
Swarganthu Pitaro Ganam
Swarganthu Pitaro Sarwa
Ya Namah Swadah
Om Moksanthu Pitaro Dewa
Moksanthu Pitaro Ganam
Moksanthu Pitaro Sarwa
Ya NAmah Swadah
Om Sunyanthu Pitaro Dewa
Sunyanthu Pitaro Ganam
Sunyanthu Pitaro Sarwa
Ya Namah Swadah
Om Murcyanthu Pitaro Dewa
Murcyanthu Pitaro Ganam
Murcyanthu Pitaro Sarwa
Ya Namah Swadah
Swarganthu Pitaro Ganam
Swarganthu Pitaro Sarwa
Ya Namah Swadah
Om Moksanthu Pitaro Dewa
Moksanthu Pitaro Ganam
Moksanthu Pitaro Sarwa
Ya NAmah Swadah
Om Sunyanthu Pitaro Dewa
Sunyanthu Pitaro Ganam
Sunyanthu Pitaro Sarwa
Ya Namah Swadah
Om Murcyanthu Pitaro Dewa
Murcyanthu Pitaro Ganam
Murcyanthu Pitaro Sarwa
Ya Namah Swadah
Jumat, 14 Agustus 2009
Renungan Hari kemerdekaan RI: Sudahkah Kita Merdeka?
Om Suastiastu,
Beberapa hari lagi bangsa Indonesia akan memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 17 Agustus 2009. Kata “merdeka” mengandung arti “bebas”. Indonesia merdeka berarti Indonesia bebas dari segala bentuk penjajahan. Sudah enam puluh empat tahun bangsa ini merdeka. Setiap tahun kita sudah dan akan terus memperingati hari bersejarah ini. Bagaimana dengan diri kita sendiri? Sudahkah kita mencapai kemerdekaan?
Salah satu hak hakiki yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah hak untuk bebas (merdeka) menentukan pilihan-pilhan. Pilihan-pilihan ini senantiasa ada di hadapan kita dan kita diberikan kebebasan untuk memilihnya. Karena kita diberikan kebebasan, maka kita harus pandai dan bijak dalam menentukan pilihan. Sekali sudah menentukan pilihan, kita harus bertanggung jawab atas pilihan tersebut.
Seringkali kita mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita merupakan faktor yang menyebabkan kita sedih, kecewa, dan marah, ataupun senang, gembira, dan bahagia. Padahal, kalau kita renungkan lebih dalam, bukan peristiwa-peristiwa itu sebagai faktor penyebabnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sesungguhnya “netral” adanya, tidak ada artinya, kecuali kita sendiri yang memberikan arti. Hal ini mengandung makna yang sangat dalam. Apapun peristiwanya, kita bebas memilih respon terhadap peristiwa tersebut. Apakah mau sedih, kecewa, atau marah? Ataukah kita memilih untuk senang, gembira, dan bahagia? Semuanya tergantung pilihan kita.
Sebagai contoh nyata adalah pada saat anak kecil menjatuhkan gelas ke lantai dan gelasnya pecah. Peristiwa jatuh dan pecahnya gelas sudah terjadi. Begitu orang tuanya tahu peristiwa itu, dengan serta merta orang tuanya memarahi anaknya hingga anaknya menangis. Atas peritiwa tersebut, orang tuanya memilih respon marah dan anaknya memilih respon menangis. Apakah dengan memilih “marah” bisa menjadikan gelas yang sudah pecah menjadi utuh kembali? Tentu jawabannya tidak. Dalam peristiwa ini, sebaiknya orang tuanya memilih respon tenang, tidak marah, dan malahan mendekati anaknya untuk memberi nasihat agar anaknya lebih hati-hati di kemudian hari. Apapun respon yang diberikan, tidak akan bisa mengubah gelas yang pecah menjadi utuh kembali.
Respon marah, di samping bisa membuat anaknya menangis, juga berdampak negatif terhadap diri orang tuanya. Kemarahan akan mengganggu sirkulasi darah. Tensi darah akan naik dan berdampak pada fungsi jantung. Sebaliknya, pilihan respon untuk tetap tenang tidak membuat anaknya menangis dan tidak berdampak negatif terhadap sirkulasi darah dan fungsi jantung.
Masih banyak peristiwa lainnya yang sering terjadi di sekitar kita. Sebenarnya kita diberikan kebebasan untuk memilih respon terhadap peristiwa itu. Sering kita tidak menyadari kebebasan ini, sehingga kita lebih sering memberikan respon yang sejatinya berdampak negatif terhadap diri kita. Respon marah, sedih, kecewa, kesal dan sejenisnya adalah respon yang berdampak tidak baik buat diri kita. Sebaliknya, respon tenang, senang, gembira, bersyukur, bahagia, dan sejenisnya akan membuat diri kita menjadi lebih baik. Karena kita diberi kebebasan untuk memilih respon, maka pilihlah respon yang menjadikan diri kita lebih baik, lebih kuat, lebih semangat, lebih bahagia, dan sejenisnya.
Tujuan Agama Hindu adalah Moksartham Jagadhita. Kata Moksartham terdiri dari kata “moksa” yang artinya bebas atau lepas dan kata “artham” yang artinya benda-benda duniawi (keduniawian). Sedangkan kata “jagadhita” terdiri dari kata “jagad” yang artinya dunia ini dan kata “hita” yang berarti bahagia (kebahagiaan). Oleh karena itu, tujuan Agama Hindu adalah untuk mencapai keadaan yang bebas (moksa) dari ikatan duniawi (artham), demi tercapainya kebahagiaan (hita) di dunia ini (jagad).
Bebas dari ikatan duniawi dapat dimaknai sebagai kebebasan kita memilih respon atas kejadian atau peristiwa yang terjadi. Apapun kejadiannya, kita bebas memilih respon. Kita tidak terikat oleh kejadian-kejadian duniawi ini. Namun demikian, kebebasan yang kita miliki itu sebaiknya kita arahkan untuk mencapai kebahagiaan di dunia ini (jagadhita).
Untuk mencapai kebahagiaan di dunia ini, bukanlah sesuatu yang sulit. Selama ini kita sulit menemukan kebahagiaan disebabkan kita terlalu tinggi memberikan persyaratan untuk bahagia. Seringkali kita menempatkan kebahagiaan itu jauh dan sulit untuk dicapai. Kita akan bahagia kalau kita mempunyai rumah bagus, kita baru bisa bahagia kalau kita mempunyai arta benda yang banyak, dan seterusnya. Padahal, kebahagiaan itu melekat dalam diri kita dan dengan mudahnya kita bisa mencapainya. Caranya? Jangan memberikan syarat apapun untuk bahagia. Dengan kata lain, bahagialah tanpa syarat!
Dalam kaitannya dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang sebentar lagi akan kita peringati, marilah kita renungkan kembali kebebasan (kemerdekaan) yang kita miliki. Mari kita manfaatkan kemerdekaan (kebebasan) ini untuk memilih respon terhadap kejadian apapun yang membuat kita selalu bahagia. Dengan demikian, tujuan agama Hindu, yakni Moksartham Jagadhita, bisa kita capai. Kita mencapai kebebasan memilih respon atas peristiwa apapun yang terjadi, sehingga membuat diri kita tetap bahagia. Bahagia dalam kehidupan kita saat ini.
Merdeka!!!
Om Shanti Shanti Shanti Om
Beberapa hari lagi bangsa Indonesia akan memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 17 Agustus 2009. Kata “merdeka” mengandung arti “bebas”. Indonesia merdeka berarti Indonesia bebas dari segala bentuk penjajahan. Sudah enam puluh empat tahun bangsa ini merdeka. Setiap tahun kita sudah dan akan terus memperingati hari bersejarah ini. Bagaimana dengan diri kita sendiri? Sudahkah kita mencapai kemerdekaan?
Salah satu hak hakiki yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah hak untuk bebas (merdeka) menentukan pilihan-pilhan. Pilihan-pilihan ini senantiasa ada di hadapan kita dan kita diberikan kebebasan untuk memilihnya. Karena kita diberikan kebebasan, maka kita harus pandai dan bijak dalam menentukan pilihan. Sekali sudah menentukan pilihan, kita harus bertanggung jawab atas pilihan tersebut.
Seringkali kita mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita merupakan faktor yang menyebabkan kita sedih, kecewa, dan marah, ataupun senang, gembira, dan bahagia. Padahal, kalau kita renungkan lebih dalam, bukan peristiwa-peristiwa itu sebagai faktor penyebabnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sesungguhnya “netral” adanya, tidak ada artinya, kecuali kita sendiri yang memberikan arti. Hal ini mengandung makna yang sangat dalam. Apapun peristiwanya, kita bebas memilih respon terhadap peristiwa tersebut. Apakah mau sedih, kecewa, atau marah? Ataukah kita memilih untuk senang, gembira, dan bahagia? Semuanya tergantung pilihan kita.
Sebagai contoh nyata adalah pada saat anak kecil menjatuhkan gelas ke lantai dan gelasnya pecah. Peristiwa jatuh dan pecahnya gelas sudah terjadi. Begitu orang tuanya tahu peristiwa itu, dengan serta merta orang tuanya memarahi anaknya hingga anaknya menangis. Atas peritiwa tersebut, orang tuanya memilih respon marah dan anaknya memilih respon menangis. Apakah dengan memilih “marah” bisa menjadikan gelas yang sudah pecah menjadi utuh kembali? Tentu jawabannya tidak. Dalam peristiwa ini, sebaiknya orang tuanya memilih respon tenang, tidak marah, dan malahan mendekati anaknya untuk memberi nasihat agar anaknya lebih hati-hati di kemudian hari. Apapun respon yang diberikan, tidak akan bisa mengubah gelas yang pecah menjadi utuh kembali.
Respon marah, di samping bisa membuat anaknya menangis, juga berdampak negatif terhadap diri orang tuanya. Kemarahan akan mengganggu sirkulasi darah. Tensi darah akan naik dan berdampak pada fungsi jantung. Sebaliknya, pilihan respon untuk tetap tenang tidak membuat anaknya menangis dan tidak berdampak negatif terhadap sirkulasi darah dan fungsi jantung.
Masih banyak peristiwa lainnya yang sering terjadi di sekitar kita. Sebenarnya kita diberikan kebebasan untuk memilih respon terhadap peristiwa itu. Sering kita tidak menyadari kebebasan ini, sehingga kita lebih sering memberikan respon yang sejatinya berdampak negatif terhadap diri kita. Respon marah, sedih, kecewa, kesal dan sejenisnya adalah respon yang berdampak tidak baik buat diri kita. Sebaliknya, respon tenang, senang, gembira, bersyukur, bahagia, dan sejenisnya akan membuat diri kita menjadi lebih baik. Karena kita diberi kebebasan untuk memilih respon, maka pilihlah respon yang menjadikan diri kita lebih baik, lebih kuat, lebih semangat, lebih bahagia, dan sejenisnya.
Tujuan Agama Hindu adalah Moksartham Jagadhita. Kata Moksartham terdiri dari kata “moksa” yang artinya bebas atau lepas dan kata “artham” yang artinya benda-benda duniawi (keduniawian). Sedangkan kata “jagadhita” terdiri dari kata “jagad” yang artinya dunia ini dan kata “hita” yang berarti bahagia (kebahagiaan). Oleh karena itu, tujuan Agama Hindu adalah untuk mencapai keadaan yang bebas (moksa) dari ikatan duniawi (artham), demi tercapainya kebahagiaan (hita) di dunia ini (jagad).
Bebas dari ikatan duniawi dapat dimaknai sebagai kebebasan kita memilih respon atas kejadian atau peristiwa yang terjadi. Apapun kejadiannya, kita bebas memilih respon. Kita tidak terikat oleh kejadian-kejadian duniawi ini. Namun demikian, kebebasan yang kita miliki itu sebaiknya kita arahkan untuk mencapai kebahagiaan di dunia ini (jagadhita).
Untuk mencapai kebahagiaan di dunia ini, bukanlah sesuatu yang sulit. Selama ini kita sulit menemukan kebahagiaan disebabkan kita terlalu tinggi memberikan persyaratan untuk bahagia. Seringkali kita menempatkan kebahagiaan itu jauh dan sulit untuk dicapai. Kita akan bahagia kalau kita mempunyai rumah bagus, kita baru bisa bahagia kalau kita mempunyai arta benda yang banyak, dan seterusnya. Padahal, kebahagiaan itu melekat dalam diri kita dan dengan mudahnya kita bisa mencapainya. Caranya? Jangan memberikan syarat apapun untuk bahagia. Dengan kata lain, bahagialah tanpa syarat!
Dalam kaitannya dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang sebentar lagi akan kita peringati, marilah kita renungkan kembali kebebasan (kemerdekaan) yang kita miliki. Mari kita manfaatkan kemerdekaan (kebebasan) ini untuk memilih respon terhadap kejadian apapun yang membuat kita selalu bahagia. Dengan demikian, tujuan agama Hindu, yakni Moksartham Jagadhita, bisa kita capai. Kita mencapai kebebasan memilih respon atas peristiwa apapun yang terjadi, sehingga membuat diri kita tetap bahagia. Bahagia dalam kehidupan kita saat ini.
Merdeka!!!
Om Shanti Shanti Shanti Om
Jumat, 31 Juli 2009
Hari Saraswati: Belajar Bekelanjutan, Tiada Henti
Om Suastiastu,
Umat Hindu sangat bersyukur karena dalam ajaran Hindu banyak terdapat hari suci keagamaan. Perayaan hari-hari suci keagamaan merupakan sarana untuk menghaturkan terima kasih dan angayubagia (bersyukur) kehadapan Hyang Widhi Wasa. Salah satu hari suci tersebut adalah Hari Saraswati yang datangnya setiap enam bulan sekali. Karena sebentar lagi kita akan merayakannya, timbul pertanyaan dalam hati. Sudahkah kita angayubagia pada setiap Hari Sarawati tiba? Angayubagia atas apa?
Perayaan Hari Saraswati merupakan salah satu bentuk rasa syukur kita kehadapan Hyang Widhi karena sudah berhasil mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, baik yang didapatkan melalui pendidikan formal, maupun lewat jalur non-formal. Selama ini rasa syukur itu kita wujudkan melalui persembahyangan Saraswati bersama-sama di Pura. Di samping itu, kita juga mempersembahkan banten Saraswati kepada Sang Hyang Aji Saraswati, khususnya di tempat kita menyimpan buku-buku. Apakah ini sudah cukup?
Dengan mengucapkan angayubagia atas ilmu pengetahuan yang kita dapatkan, berarti kita mengakui bahwa kita sudah memperoleh ilmu pengetahuan. Kita sudah memiliki ilmu pengetahuan tertentu. Rasa syukur (angayubagia) tersebut akan membentuk suasana hati kita menjadi suasana hati yang penuh berkelimpahan, khususnya keberlimpahan ilmu pengetahuan. Suasana hati yang penuh keberlimpahan ini, sesuai dengan Hukum Punarbhawa (Hukum Tarik Menarik atau The Law of Attraction) akan menarik ilmu pengetahuan serupa. Semakin kita bersyukur pada pengetahuan yang kita miliki, kita akan semakin tertarik untuk terus mempelajari hal-hal (pengetahuan) untuk memperdalam ataupun memperkaya khazanah pengetahuan kita di bidang itu.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, sejatinya kita hanya perlu mensyukuri apa yang sudah kita miliki. Kita tidak perlu lagi memohon agar kita diberikan waranugraha berupa ilmu pengetahuan. Khusus pada Hari Saraswati, kita sering masih memohon waranugraha berupa ilmu pengetahuan. Sepanjang kita masih memohon, apa pun itu, hal itu menandakan bahwa kita masih kekurangan dan tidak menghargai apa yang sudah kita miliki selama ini. Lebih tragisnya lagi, kita memohon ilmu pengetahuan, tetapi kita tidak bisa secara spesifik menyebutkan jenis ilmu pengetahuan yang kita inginkan. Sering kita memberikan justifikasi bahwa Tuhan pasti sudah tahu atau Tuhan pasti lebih tahu apa yang kita maksud.
Dalam rangka bersyukur, kita juga diwajibkan untuk mengamalkan serta berbagi kepada orang lain atas ilmu pengetahuan yang kita miliki. Ilmu pengetahuan, apa pun itu, akan sia-sia, bahkan akan sirna, jika tidak diamalkan. Kita harus bisa mempraktikkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh nyata dapat saya sampaikan tentang diri saya pribadi. Sebagai seorang akuntan yang sudah memliki sertifikat akuntan publik, sudah bertahun-tahun saya tidak lagi mempraktikkan ilmu akuntansi ataupun ilmu auditing saya. Akibatnya, kalau ada yang menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan bidang ini, rasanya saya tidak bisa menjawabnya secara cepat. Saya masih memerlukan membaca buku-buku di bidang itu lagi. Apalagi jika diminta untuk langsung melakukan audit atas laporan keuangan. Sudah barang tentu saya akan ragu-ragu untuk menerima penugasan itu. Saya masih perlu waktu untuk belajar lagi.
Selain mempraktikkan langsung, sarana yang paling ampuh untuk memelihara dan memperdalam suatu pengetahuan adalah dengan berbagi kepada orang lain. Berbagi pengetahuan kepada orang lain dapat dilakukan dengan banyak cara.
Mengajar di kelas adalah salah satu cara yang efektif untuk memperdalam sesuatu pengetahuan. Supaya ilmu akuntansi masih tetap terpelihara dengan baik, maka sebaiknya kita meluangkan diri untuk mengajar akuntansi di kelas. Dengan mengajar di kelas, mau tidak mau kita harus mempersiapkan diri sebelum hadir di kelas. Kita akan membaca berbagai literatur yang berhubungan dengan ilmu akuntansi tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sewaktu kita mengajar, juga kan memperkaya pengetahuan kita di bidang itu.
Kalau kita ingin memperdalam pengetahuan kita di bidang agama Hindu, maka sebaiknya kita mulai mengajarkannya kepada anak di rumah. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari anak-anak kita, akan memacu kita untuk terus dan tambah rajin membaca buku-buku yang berhubungan dengan ajaran Hindu. Kalau memungkinkan, ada baiknya juga kita menawarkan diri untuk bisa sesekali mengajar di sekolah-sekolah agama Hindu yang untuk di luar Bali diadakan tiap hari minggu di Pura. Dengan menjadi relawan sebagai guru agama di Pura, kita akan tergerak dan termotivasi untuk melahap buku-buku yang berkaitan dengan ajaran Hindu. Kita akan belajar terus agar selalu siap jika sewaktu-waktu ada pertanyaan dari siswa. Dengan mengajar, kita menjadi belajar.
Selain mengajar, sarana ampuh lainnya untuk memelihara ilmu adalah dengan menulis. Sebelum ide dan pemikiran-pemikiran yang kita miliki kita tuangkan dalam bentuk tulisan, sudah barang tentu kita akan banyak membaca dan mempelajari buku-buku maupun tulisan-tulisan yang berhubungan dengan topik yang akan kita tulis. Kita akan membahasnya terlebih dahulu dalam pikiran (hati), sebelum ide itu terwujud dalam bentuk susunan kalimat-kalimat. Dengan menulis artikel di bidang agama Hindu, kita sejatinya sedang belajar memperdalam ajaran Hindu.
Sarana lain untuk memelihara dan mengasah pengetahuan khususnya di bidang keagamaan adalah dengan belajar memberikan Dharma Wacana. Mulailah dari kelompok-kelompok kecil terlebih dahulu. Mulai dari kelompok arisan keluarga, rapat di tempek (khusus di luar Bali), rapat banjar, dan seterusnya. Selama ini masih terdapat paradigma yang kurang pas dalam hal Dharma Wacana. Banyak orang yang menghindar kalau diminta untuk memberikan Dharma Wacana. Alasannya, di samping belum menguasai ilmu agama, juga belum layak karena perbuatan sehari-hari belum mencerminkan orang yang ahli agama. Paradigma ini sudah semestinya diubah. Dengan memberikan Dharma Wacana, kita menjadi termotivasi untuk belajar lebih banyak lagi perihal ajaran agama. Dengan memberikan Dharma Wacana, hal ini akan memotivasi diri kita untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan ajaran Hindu. Dengan menjadi narasumber, kita akan tergerak untuk terus berbenah diri dan menjalankan praktik-praktik keagamaan dengan baik dan benar. Jangan menunggu kita telah melaksanakan terlebih dahulu, baru kita berbagi pengetahuan dengan orang lain. Dengan memberikan Dharma wacana, kita menjadi belajar bagaiaman menjadi umat Hindu yang baik.
Derasnya arus globalisasi saat ini dan di masa depan, menuntut perubahan-perubahan dalam pembinaan agama Hindu ke depan. Diperlukan lebih banyak orang lagi yang mau berbagi pengetahuan, khususnya pengetahuan di bidang agama Hindu. Ide dan pemikiran-pemikiran prospektif sangat dibutuhkan dalam pembinaan di masa mendatang. Oleh karena itu, melalui perayaan hari Saraswati kali ini, mari kita terus belajar, belajar berkesinambungan tanpa henti, dengan cara berbagi, berbagi ilmu pengetahuan.
Melalui tulisan ini, kami mengundang Anda untuk berbagi pengetahuan, khususnya pengetahuan di bidang Agama Hindu. Mulailah menuangkan ide dan pemikiran Anda dalam bentuk tulisan untuk kemudian disebarluaskan kepada umat Hindu lainnya.
Akhirnya, Selamat Merayakan Hari Saraswati. Selamat Belajar Berkesinambungan, Tanpa Henti.
Om Shanti Shanti Shanti Om.
Umat Hindu sangat bersyukur karena dalam ajaran Hindu banyak terdapat hari suci keagamaan. Perayaan hari-hari suci keagamaan merupakan sarana untuk menghaturkan terima kasih dan angayubagia (bersyukur) kehadapan Hyang Widhi Wasa. Salah satu hari suci tersebut adalah Hari Saraswati yang datangnya setiap enam bulan sekali. Karena sebentar lagi kita akan merayakannya, timbul pertanyaan dalam hati. Sudahkah kita angayubagia pada setiap Hari Sarawati tiba? Angayubagia atas apa?
Perayaan Hari Saraswati merupakan salah satu bentuk rasa syukur kita kehadapan Hyang Widhi karena sudah berhasil mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, baik yang didapatkan melalui pendidikan formal, maupun lewat jalur non-formal. Selama ini rasa syukur itu kita wujudkan melalui persembahyangan Saraswati bersama-sama di Pura. Di samping itu, kita juga mempersembahkan banten Saraswati kepada Sang Hyang Aji Saraswati, khususnya di tempat kita menyimpan buku-buku. Apakah ini sudah cukup?
Dengan mengucapkan angayubagia atas ilmu pengetahuan yang kita dapatkan, berarti kita mengakui bahwa kita sudah memperoleh ilmu pengetahuan. Kita sudah memiliki ilmu pengetahuan tertentu. Rasa syukur (angayubagia) tersebut akan membentuk suasana hati kita menjadi suasana hati yang penuh berkelimpahan, khususnya keberlimpahan ilmu pengetahuan. Suasana hati yang penuh keberlimpahan ini, sesuai dengan Hukum Punarbhawa (Hukum Tarik Menarik atau The Law of Attraction) akan menarik ilmu pengetahuan serupa. Semakin kita bersyukur pada pengetahuan yang kita miliki, kita akan semakin tertarik untuk terus mempelajari hal-hal (pengetahuan) untuk memperdalam ataupun memperkaya khazanah pengetahuan kita di bidang itu.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, sejatinya kita hanya perlu mensyukuri apa yang sudah kita miliki. Kita tidak perlu lagi memohon agar kita diberikan waranugraha berupa ilmu pengetahuan. Khusus pada Hari Saraswati, kita sering masih memohon waranugraha berupa ilmu pengetahuan. Sepanjang kita masih memohon, apa pun itu, hal itu menandakan bahwa kita masih kekurangan dan tidak menghargai apa yang sudah kita miliki selama ini. Lebih tragisnya lagi, kita memohon ilmu pengetahuan, tetapi kita tidak bisa secara spesifik menyebutkan jenis ilmu pengetahuan yang kita inginkan. Sering kita memberikan justifikasi bahwa Tuhan pasti sudah tahu atau Tuhan pasti lebih tahu apa yang kita maksud.
Dalam rangka bersyukur, kita juga diwajibkan untuk mengamalkan serta berbagi kepada orang lain atas ilmu pengetahuan yang kita miliki. Ilmu pengetahuan, apa pun itu, akan sia-sia, bahkan akan sirna, jika tidak diamalkan. Kita harus bisa mempraktikkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh nyata dapat saya sampaikan tentang diri saya pribadi. Sebagai seorang akuntan yang sudah memliki sertifikat akuntan publik, sudah bertahun-tahun saya tidak lagi mempraktikkan ilmu akuntansi ataupun ilmu auditing saya. Akibatnya, kalau ada yang menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan bidang ini, rasanya saya tidak bisa menjawabnya secara cepat. Saya masih memerlukan membaca buku-buku di bidang itu lagi. Apalagi jika diminta untuk langsung melakukan audit atas laporan keuangan. Sudah barang tentu saya akan ragu-ragu untuk menerima penugasan itu. Saya masih perlu waktu untuk belajar lagi.
Selain mempraktikkan langsung, sarana yang paling ampuh untuk memelihara dan memperdalam suatu pengetahuan adalah dengan berbagi kepada orang lain. Berbagi pengetahuan kepada orang lain dapat dilakukan dengan banyak cara.
Mengajar di kelas adalah salah satu cara yang efektif untuk memperdalam sesuatu pengetahuan. Supaya ilmu akuntansi masih tetap terpelihara dengan baik, maka sebaiknya kita meluangkan diri untuk mengajar akuntansi di kelas. Dengan mengajar di kelas, mau tidak mau kita harus mempersiapkan diri sebelum hadir di kelas. Kita akan membaca berbagai literatur yang berhubungan dengan ilmu akuntansi tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sewaktu kita mengajar, juga kan memperkaya pengetahuan kita di bidang itu.
Kalau kita ingin memperdalam pengetahuan kita di bidang agama Hindu, maka sebaiknya kita mulai mengajarkannya kepada anak di rumah. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari anak-anak kita, akan memacu kita untuk terus dan tambah rajin membaca buku-buku yang berhubungan dengan ajaran Hindu. Kalau memungkinkan, ada baiknya juga kita menawarkan diri untuk bisa sesekali mengajar di sekolah-sekolah agama Hindu yang untuk di luar Bali diadakan tiap hari minggu di Pura. Dengan menjadi relawan sebagai guru agama di Pura, kita akan tergerak dan termotivasi untuk melahap buku-buku yang berkaitan dengan ajaran Hindu. Kita akan belajar terus agar selalu siap jika sewaktu-waktu ada pertanyaan dari siswa. Dengan mengajar, kita menjadi belajar.
Selain mengajar, sarana ampuh lainnya untuk memelihara ilmu adalah dengan menulis. Sebelum ide dan pemikiran-pemikiran yang kita miliki kita tuangkan dalam bentuk tulisan, sudah barang tentu kita akan banyak membaca dan mempelajari buku-buku maupun tulisan-tulisan yang berhubungan dengan topik yang akan kita tulis. Kita akan membahasnya terlebih dahulu dalam pikiran (hati), sebelum ide itu terwujud dalam bentuk susunan kalimat-kalimat. Dengan menulis artikel di bidang agama Hindu, kita sejatinya sedang belajar memperdalam ajaran Hindu.
Sarana lain untuk memelihara dan mengasah pengetahuan khususnya di bidang keagamaan adalah dengan belajar memberikan Dharma Wacana. Mulailah dari kelompok-kelompok kecil terlebih dahulu. Mulai dari kelompok arisan keluarga, rapat di tempek (khusus di luar Bali), rapat banjar, dan seterusnya. Selama ini masih terdapat paradigma yang kurang pas dalam hal Dharma Wacana. Banyak orang yang menghindar kalau diminta untuk memberikan Dharma Wacana. Alasannya, di samping belum menguasai ilmu agama, juga belum layak karena perbuatan sehari-hari belum mencerminkan orang yang ahli agama. Paradigma ini sudah semestinya diubah. Dengan memberikan Dharma Wacana, kita menjadi termotivasi untuk belajar lebih banyak lagi perihal ajaran agama. Dengan memberikan Dharma Wacana, hal ini akan memotivasi diri kita untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan ajaran Hindu. Dengan menjadi narasumber, kita akan tergerak untuk terus berbenah diri dan menjalankan praktik-praktik keagamaan dengan baik dan benar. Jangan menunggu kita telah melaksanakan terlebih dahulu, baru kita berbagi pengetahuan dengan orang lain. Dengan memberikan Dharma wacana, kita menjadi belajar bagaiaman menjadi umat Hindu yang baik.
Derasnya arus globalisasi saat ini dan di masa depan, menuntut perubahan-perubahan dalam pembinaan agama Hindu ke depan. Diperlukan lebih banyak orang lagi yang mau berbagi pengetahuan, khususnya pengetahuan di bidang agama Hindu. Ide dan pemikiran-pemikiran prospektif sangat dibutuhkan dalam pembinaan di masa mendatang. Oleh karena itu, melalui perayaan hari Saraswati kali ini, mari kita terus belajar, belajar berkesinambungan tanpa henti, dengan cara berbagi, berbagi ilmu pengetahuan.
Melalui tulisan ini, kami mengundang Anda untuk berbagi pengetahuan, khususnya pengetahuan di bidang Agama Hindu. Mulailah menuangkan ide dan pemikiran Anda dalam bentuk tulisan untuk kemudian disebarluaskan kepada umat Hindu lainnya.
Akhirnya, Selamat Merayakan Hari Saraswati. Selamat Belajar Berkesinambungan, Tanpa Henti.
Om Shanti Shanti Shanti Om.
Jumat, 17 Juli 2009
Catur Guru
Om Suastiastu,
Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal ajaran Catur Guru. Ajaran yang kita dapatkan selama ini selalu mengupas tentang bagaimana dan mengapa seseorang itu wajib menghormati keempat guru yang ada. Hampir tidak pernah dibahas bagaimana seharusnya seorang guru mengajarkan pengetahuan atau bagaimana seorang guru seharusnya membimbing anak didiknya.
Sesuai dengan arti katanya, Catur Guru merupakan empat guru yang harus kita hormati. Keempat guru tersebut adalah: (i) Guru Swadhyaya; (ii) Guru Rupaka; (iii) Guru Pengajian, dan (iv) Guru Wisesa.
Guru Swadhyaya adalah Sang Hynag Widhi, Sang Pencipta dunia beserta segala isinya, termasuk manusia. Kita wajib selalu hormat kepada Sang Hyang Widhi karena tanpa Beliau kita tidak mungkin ada, bahkan dunia ini pun tidak bakalan ada. Di samping hormat, kita juga diajarkan untuk senantiasa memuja kebesaran-Nya.
Kita juga diajarkan untuk selalu hormat kepada kedua orang tua kita. Kedua orang inilah (ayah dan ibu) yang melahirkan, membesarkan, dan medidik kita hingga menjadi seperti sekarang ini. Kedua orang tua kita yang disebut Guru Rupaka inilah yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan bagi kita. Sudah sepatutnya kita senantiasa hormat kepada mereka.
Memasuki usia sekolah, kita mulai berkenalan dengan guru-guru di sekolah. Mereka inilah yang mengajarkan berbagai pengetahuan kepada kita. Mulai dari belajar membaca, menulis, berhitung, pengetahuan sosial, pengetahuan alam, bahkan juga pengetahuan agama. Tanpa keberadaan guru-guru di sekolah yang kita juluki Guru Pengajian, rasanya tidak mungkin kita saat ini berada pada posisi masing-masing. Oleh karena itu, kita patut hormat dan respek kepada mereka.
Kita hidup dalam satu wadah negara kesatuan. Agar kehidupan suatu negara bisa berjalan aman dan teratur, maka diperlukan adanya pemerintahan. Pemerintah inilah dalam ajaran Hindu disebut Guru Wisesa. Sebagai anggota masyarakat, sudah sewajarnya kita patuh dan hormat kepada Guru Wisesa ini.
Semua uraian di atas masih dalam persepektif bagaiamana seharusnya kita bersikap terhadap para guru yang dikenal dalam ajaran Hindu. Selanjutnya, marilah kita bahas dari perspektif guru itu sendiri. Bagaiamana seharusnya perbuatan kita kalau seandainya kita yang menjadi guru?
Pertama, kalau kita menjadi Guru Rupaka. Sebagai orang tua, kita sejatinya adalah guru bagi anak-anak kita. Sebagai guru, orang yang patut digugu dan ditiru, orang tua seharusnya menjadi panutan bagi anak-anaknya. Orang tua harus bisa menjadi role model dalam kehidupan sehari-hari. Setiap perbuatan yang dilakukan dihadapan anak-anaknya akan menjadi contoh bagi mereka.
Pada saat kita menyuruh anak agar tidak nonton TV, apakah kita sudah bisa mengendalikan diri untuk juga tidak nonton TV? Kita menyuruh anak untuk rajin membaca buku, sementara kita sendiri jarang, bahkan tidak pernah terlihat membaca buku di hadapan anak-anak. Bagaiamana kita bisa mengharapkan anak-anak bisa dengan serta merta menjadi rajin membaca buku?
Yang dibutuhkan anak-anak dari orang tuanya adalah panutan, bukan sekadar ucapan.Mereka membutuhkan figur yang bisa dijadikan suri tauladan bagi kehidupannya sehari-hari. Kalau kita mengharapkan anak-anak mau mempelajari ajaran-ajaran Hindu di rumah, maka sebagai orang tua, kita juga harus memberi contoh dengan ikut mempelajari buku-buku keagamaan. Dalam urusan pendidikan agama kita tidak boleh hanya menyerahkan kepada guru di sekolah atau pun guru-guru di sekolah agama (minggu) di Pura. Kita sebenarnya bisa berperan sebagai guru agama bagi mereka.
Kedua, kalau kita sebagai guru di sekolah. Peran guru di sekolah ataupun dosen di kampus sangatlah besar dalam mendidik putera-puteri bangsa Indonesia. Di tangan para guru yang disebut Guru Pengajian inilah nasib bangsa Indonesia ke depan ditumpukan.
Semua anak didik sejatinya mempunyai potensi diri yang luar biasa dahsyat, tanpa batas. Batas-batas yang ada dalam diri mereka sebenarnya diciptakan sendiri oleh mereka melalui system keyakinan yang dianutnya sejak kecil. Guru di sekolah diharapkan jangan menambah batas-batas ini lagi, melainkan membantu untuk mengikis batas-batas tersebut.
Seorang guru harus bisa merangsang tumbuhnya kreativitas anak didik. Di samping itu, guru juga harus bisa mengembangkan kreativitas yang sudah dimiliki anak didik. Sikap guru haruslah ramah. Sudah tidak jamannya lagi, seorang guru ditakuti muridnya. Sebaliknya, guru harus bisa menjadi sosok yang dirindukan murid. Sosok yang dicintai muridnya.
Untuk bisa menjadi pribadi yang demikian, seorang guru pertama-tama harus mencintai pekerjaannya sebagai guru. Dengan demikian, dia bekerja secara totalitas, penuh pengabdian, bahkan bisa mencintai sepenuhnya anak didik sebagaimana dia mencintai anak kandungnya di rumah. Seorang guru hendaknya senantiasa bisa mendoakan keberhasilan murud-muridnya.
Terakhir, pemerintah sebagai Guru Wisesa sebaiknya adalah orang yang benar-benar bisa memerintah rakyatnya dengan baik. Pemerintah seyogyanya dapat menjadi inspirator, serta bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya. Segala gerak-gerik harus mencerminkan sikap yang bisa digugu dan ditiru masyarakatnya. Pemerintah juga harus bisa menjadi sosok yang dicintai dan sekaligus mencintai rakyatnya.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal ajaran Catur Guru. Ajaran yang kita dapatkan selama ini selalu mengupas tentang bagaimana dan mengapa seseorang itu wajib menghormati keempat guru yang ada. Hampir tidak pernah dibahas bagaimana seharusnya seorang guru mengajarkan pengetahuan atau bagaimana seorang guru seharusnya membimbing anak didiknya.
Sesuai dengan arti katanya, Catur Guru merupakan empat guru yang harus kita hormati. Keempat guru tersebut adalah: (i) Guru Swadhyaya; (ii) Guru Rupaka; (iii) Guru Pengajian, dan (iv) Guru Wisesa.
Guru Swadhyaya adalah Sang Hynag Widhi, Sang Pencipta dunia beserta segala isinya, termasuk manusia. Kita wajib selalu hormat kepada Sang Hyang Widhi karena tanpa Beliau kita tidak mungkin ada, bahkan dunia ini pun tidak bakalan ada. Di samping hormat, kita juga diajarkan untuk senantiasa memuja kebesaran-Nya.
Kita juga diajarkan untuk selalu hormat kepada kedua orang tua kita. Kedua orang inilah (ayah dan ibu) yang melahirkan, membesarkan, dan medidik kita hingga menjadi seperti sekarang ini. Kedua orang tua kita yang disebut Guru Rupaka inilah yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan bagi kita. Sudah sepatutnya kita senantiasa hormat kepada mereka.
Memasuki usia sekolah, kita mulai berkenalan dengan guru-guru di sekolah. Mereka inilah yang mengajarkan berbagai pengetahuan kepada kita. Mulai dari belajar membaca, menulis, berhitung, pengetahuan sosial, pengetahuan alam, bahkan juga pengetahuan agama. Tanpa keberadaan guru-guru di sekolah yang kita juluki Guru Pengajian, rasanya tidak mungkin kita saat ini berada pada posisi masing-masing. Oleh karena itu, kita patut hormat dan respek kepada mereka.
Kita hidup dalam satu wadah negara kesatuan. Agar kehidupan suatu negara bisa berjalan aman dan teratur, maka diperlukan adanya pemerintahan. Pemerintah inilah dalam ajaran Hindu disebut Guru Wisesa. Sebagai anggota masyarakat, sudah sewajarnya kita patuh dan hormat kepada Guru Wisesa ini.
Semua uraian di atas masih dalam persepektif bagaiamana seharusnya kita bersikap terhadap para guru yang dikenal dalam ajaran Hindu. Selanjutnya, marilah kita bahas dari perspektif guru itu sendiri. Bagaiamana seharusnya perbuatan kita kalau seandainya kita yang menjadi guru?
Pertama, kalau kita menjadi Guru Rupaka. Sebagai orang tua, kita sejatinya adalah guru bagi anak-anak kita. Sebagai guru, orang yang patut digugu dan ditiru, orang tua seharusnya menjadi panutan bagi anak-anaknya. Orang tua harus bisa menjadi role model dalam kehidupan sehari-hari. Setiap perbuatan yang dilakukan dihadapan anak-anaknya akan menjadi contoh bagi mereka.
Pada saat kita menyuruh anak agar tidak nonton TV, apakah kita sudah bisa mengendalikan diri untuk juga tidak nonton TV? Kita menyuruh anak untuk rajin membaca buku, sementara kita sendiri jarang, bahkan tidak pernah terlihat membaca buku di hadapan anak-anak. Bagaiamana kita bisa mengharapkan anak-anak bisa dengan serta merta menjadi rajin membaca buku?
Yang dibutuhkan anak-anak dari orang tuanya adalah panutan, bukan sekadar ucapan.Mereka membutuhkan figur yang bisa dijadikan suri tauladan bagi kehidupannya sehari-hari. Kalau kita mengharapkan anak-anak mau mempelajari ajaran-ajaran Hindu di rumah, maka sebagai orang tua, kita juga harus memberi contoh dengan ikut mempelajari buku-buku keagamaan. Dalam urusan pendidikan agama kita tidak boleh hanya menyerahkan kepada guru di sekolah atau pun guru-guru di sekolah agama (minggu) di Pura. Kita sebenarnya bisa berperan sebagai guru agama bagi mereka.
Kedua, kalau kita sebagai guru di sekolah. Peran guru di sekolah ataupun dosen di kampus sangatlah besar dalam mendidik putera-puteri bangsa Indonesia. Di tangan para guru yang disebut Guru Pengajian inilah nasib bangsa Indonesia ke depan ditumpukan.
Semua anak didik sejatinya mempunyai potensi diri yang luar biasa dahsyat, tanpa batas. Batas-batas yang ada dalam diri mereka sebenarnya diciptakan sendiri oleh mereka melalui system keyakinan yang dianutnya sejak kecil. Guru di sekolah diharapkan jangan menambah batas-batas ini lagi, melainkan membantu untuk mengikis batas-batas tersebut.
Seorang guru harus bisa merangsang tumbuhnya kreativitas anak didik. Di samping itu, guru juga harus bisa mengembangkan kreativitas yang sudah dimiliki anak didik. Sikap guru haruslah ramah. Sudah tidak jamannya lagi, seorang guru ditakuti muridnya. Sebaliknya, guru harus bisa menjadi sosok yang dirindukan murid. Sosok yang dicintai muridnya.
Untuk bisa menjadi pribadi yang demikian, seorang guru pertama-tama harus mencintai pekerjaannya sebagai guru. Dengan demikian, dia bekerja secara totalitas, penuh pengabdian, bahkan bisa mencintai sepenuhnya anak didik sebagaimana dia mencintai anak kandungnya di rumah. Seorang guru hendaknya senantiasa bisa mendoakan keberhasilan murud-muridnya.
Terakhir, pemerintah sebagai Guru Wisesa sebaiknya adalah orang yang benar-benar bisa memerintah rakyatnya dengan baik. Pemerintah seyogyanya dapat menjadi inspirator, serta bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya. Segala gerak-gerik harus mencerminkan sikap yang bisa digugu dan ditiru masyarakatnya. Pemerintah juga harus bisa menjadi sosok yang dicintai dan sekaligus mencintai rakyatnya.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Senin, 13 April 2009
HUKUM KARMA PHALA
Hukum Karma Phala sejatinya adalah salah satu bentuk hukum alam (Rta). Tuhan menciptkan alam semesta beserta isinya lengkap dengan hukum-hukum alamnya yang universal (berlaku umum) dan netral (tidak memihak). Universal artinya berlaku bagi setiap orang tanpa kecuali. Tidak hanya berlaku bagi umat Hindu, tetapi juga bagi umat di luar Hindu. Bersifat netral artinya tidak memihak dan tidak membeda-bedakan
Selasa, 03 Maret 2009
Moksartham Jagadhita
Seorang pemuda, sebut saja namanya Satwika, sedang jatuh cinta pada seorang gadis, namanya Sawitri. Sawitri merupakan seorang gadis yang sedang tumbuh dan menjadi "kembang" di desanya. Banyak pemuda yang tertarik dan mencintai Sawitri, tak terkecuali Satwika.
Kalau pemuda lainnya memendam rasa cinta pada Sawitri mungkin hanya sekadarnya, hanya sekilas, atau lebih populer disebut "cinta monyet". Akan tetapi, buat Satwika tidak demikian adanya. Dia sungguh-sungguh mencintai gadis idamannya itu. Siang malam wajah Sawitri terbayang-banyang, terlebih-lebih saat menjelang tidur. Terbayang dengan jelas betapa bahagianya dia kelak jika berhasil bersanding, hidup mengarungi bahtera rumah tangga dengan Sawitri, gadis pujaannya itu.
Bagaimana dengan Sawitri? Rupanya secara diam-diam Sawitri juga sedang menaruh hati dengan pemuda lain. Pujawan namanya. Sawitri sama sekali tidak tertarik dan jatuh cinta dengan Satwika. Baginya, Satwika tak lebih hanya sekadar teman. Segenap jiwa raganya tertumpah pada Pujawan, sang pemuda tambatan hatinya.
Suatu ketika, dengan modal mental baja, Satwika memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatinya kepada Sawitri. Dia sudah membayangkan kebahagiaan tiada tara jika berhasil menyunting gadis idamannya itu.
Kalau pemuda lainnya memendam rasa cinta pada Sawitri mungkin hanya sekadarnya, hanya sekilas, atau lebih populer disebut "cinta monyet". Akan tetapi, buat Satwika tidak demikian adanya. Dia sungguh-sungguh mencintai gadis idamannya itu. Siang malam wajah Sawitri terbayang-banyang, terlebih-lebih saat menjelang tidur. Terbayang dengan jelas betapa bahagianya dia kelak jika berhasil bersanding, hidup mengarungi bahtera rumah tangga dengan Sawitri, gadis pujaannya itu.
Bagaimana dengan Sawitri? Rupanya secara diam-diam Sawitri juga sedang menaruh hati dengan pemuda lain. Pujawan namanya. Sawitri sama sekali tidak tertarik dan jatuh cinta dengan Satwika. Baginya, Satwika tak lebih hanya sekadar teman. Segenap jiwa raganya tertumpah pada Pujawan, sang pemuda tambatan hatinya.
Suatu ketika, dengan modal mental baja, Satwika memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatinya kepada Sawitri. Dia sudah membayangkan kebahagiaan tiada tara jika berhasil menyunting gadis idamannya itu.
Jumat, 23 Januari 2009
Tuhan Sudah Mengampuni, Mengapa Kita Belum Memaafkan?
Suatu ketika, Franky (bukan nama sebenarnya), meminjam motor Satwika (temannya) untuk dipakai mengantarkan kakaknya pergi ke pasar. Karena kakaknya berbelanja cukup banyak, waktu yang dibutuhkan pun menjadi lama. Untuk menghilangkan rasa bosan menunggu terlalu lama, Franky memutuskan untuk memarkir motornya dan ikut melihat-lihat beberapa barang di pasar. Setelah kira-kira satu jam berjalan-jalan, dia kemudian kembali ke tempat parkir motor.
Betapa kagetnya dia karena ternyata motor milik temannya itu sudah tidak ada lagi di tempat semula. Motor hilang. Pikiran Franky berkecamuk, campur aduk antara marah, kesel, sedih, kecewa, dan sejenisnya. Betapa marahnya dia kepada pencuri yang tega-teganya mengambil barang yang kebetulan juga adalah barang pinjaman dari temannya. Betapa kecewanya dia pada dirinya sendiri karena telah memutuskan untuk tidak menjaga sendiri motor itu. Betapa sedihnya dia karena memikirkan bagaimana caranya dia memberitahu kepada Satwika, temannya bahwa motornya hilang. Betapa marahnya nanti temennya begitu mendengar bahwa motornya hilang. Apakah dia harus mengganti motor yang baru sebulan dibeli temannya itu? Bagaimana caranya dia mendapatkan uang untuk membeli motor sementara saat ini dia masih pengangguran?
Dengan perasaan bercampur aduk tidak karuan, akhirnya dia memberanikan diri untuk memberitahukan secara terus terang, secara jujur kepada temannya bahwa motornya hilang sewaktu parkit di pasar. Dia juga minta maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian tersebut. Di luar yang diperkirakan sebelumnya, ternyata Satwika sama sekali tidak marah atas hilangnya motor itu. Bahkan, dia malahan menasihati Franky agar tidak memikirkan lagi kejadian tersebut. Peristiwa hilangnya motor sudah terjadi. Hal itu tidak bisa lagi diubah. Apakah dengan marah-marah, kesal, kecewa, dan bersedih, akan membuat motor itu kembali? Tidak juga. Satwika telah memaafkan perbuatan temannya itu dan sudah tidak mempermasalahkannya lagi, serta tidak meminta Franky mengganti motornya itu. Satwika sudah mengikhlaskannya, tetapi Franky merasa malu, merasa tidak enak, dan merasa bersalah karena telah menghilangkan motor itu. Dia berjanji, apabila suatu saat nanti dia mempunyai cukup uang, dia akan menggantinya.
Setelah kejadian itu, kehidupan Franky berubah. Hari-hari dilaluinya dengan kemurungan. Setiap hari dia berdoa dan memohon ampun kepada Tuhan. Dia masih benci kepada pencuri itu dan dalam setiap doanya memohon kepada Tuhan untuk memberikan ganjaran yang setimpal kepada pencuri itu.
Apakah Tuhan mau mengampuni perbuatan Franky? Apa yang harus dilakukannya agar Tuhan mau mengampuninya?
Dalam ajaran agama apapun, Tuhan adalah Maha Pemaaf, Maha Mengampuni. Jadi, atas kejadian tersebut di atas, Tuhan sudah pasti mengampuni kesalahan yang telah diperbuat Franky. Tuhan sudah memaafkan 100%. Demikian juga dengan Satwika. Satwika pun sudah memaafkan Franky. Permasalahannya adalah Franky sendiri belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Selama Franky belum bisa memaafkan dirinya sendiri, maka masalah tersebut akan membebani dia dalam hidupnya sehari-hari. Masalah tersebut akan menggelayuti perjalanan Franky untuk menggapai masa depan yang lebih baik.
Dalam pergaulan sehari-hari sering kita berbuat salah pada orang lain. Kemudian dengan segera kita meminta maaf dan orang itu pun segera memaafkan. Akan tetapi, diri kita sendiri belum bisa memaafkan kesalahan tersebut. Sepanjang kita belum bisa memaafkan, maka kejadian tersebut akan terus membebani pikiran kita. Kalau terjadi kesalahan lagi di kemudian hari dan kita juga belum bisa memaafkannya, maka beban ini akan menumpuk dan terus menumpuk. Terkadang hal ini akan menimbulkan penyakit pada tubuh kita. Sesungguhnya penyakit yang kita derita sering kali berasal dari kekotoran hati, dari permasalahan-permasalahan yang tertinggal, dari permasalahan-permasalahan yang belum beres, yang terus menumpuk dalam hati dan pikiran kita.
Demikian juga sebaliknya, orang lain yang berbuat kesalahan dan kemudian meminta maaf kepada kita. Sepanjang kita belum bisa memaafkan, maka kesalahan orang tersebut akan terus membayangi pikiran dan hati kita. Apalagi kalau kita masih membencinya. Membenci orang lain sama artinya dengan kita minum racun, tetapi mengharapkan orang lain yang mati pelan-pelan. Orang lain yang kita benci hidupnya tenang dan bahagia, sementara kita sendiri sengsara dibuatnya. Kita akan terbebani terus selama kita belum memaafkan orang itu. Sepanjang kita belum memaafkan, siapapun itu dan apapun itu, akan terus menempati ruang di hati kita secara gratis, tanpa sewa.
Kalau kita kaitkan pembahasan di atas dengan perayaan Hari Siwaratri yang akan kita rayakan, maka hal tersebut sangatlah relevan. Ajaran Hindu sudah menyediakan waktu khusus, yaitu pada Hari Siwaratri, yang jatuh pada sehari menjelang Tilem Kepitu setiap tahun. Biasanya jatuh sekitar bulan Januari, bulan pertama pada tahun kalender.
Mulai pagi hari pukul 06.00 pagi umat Hindu diajarkan untuk mengakui kesalahan-kesalahan yang telah terjadi, baik kesalahan yang dilakukan sendiri atas orang lain, maupun kesalahan orang lain terhadap diri kita sendiri. Mengapa kita harus mengakui? Dengan mengakuinya, maka rasa bersalah (dosa) itu bisa kita lepaskan. Sepanjang kita belum bisa mengakui bahwa sesuatu itu telah terjadi (termasuk kesalahan), maka sesuatu (kesalahan) itu akan sulit kita lepaskan. Rasa bersalah akan terus menggelayuti kita. Oleh karena itu, maka langkah pertama adalah mengakuinya bahwa perbuatan itu sudah terjadi. Kita tidak bisa mengubah segala sesuatu yang sudah terjadi. Kita tidak bisa mengubah masa lalu kita. Yang bisa kita ubah adalah cara kita memandang atas peristiwa tersebut. Yang bisa kita ubah adalah masa depan kita.
Pada cerita Lubdhaka yang sangat terkenal itu, diceritakan bahwa karena tersesat di hutan maka dia memutuskan untuk naik ke atas pohon untuk berlindung dari serangan binatang buas. Agar tidak jatuh sewaktu-waktu, maka dia selalu terjaga (jagra = tidak tidur) dan tetap sadar. Aktivitas yang dilakukan adalah memetik daun bila dan melepaskannya ke bawah. Sambil merenungi perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya selama ini, dia mengakui perbuatan-perbuatan (dosa-dosa) tersebut. Setelah mengakuinya, maka dia lepaskan satu per satu seperti dia melepaskan daun bila satu per satu ke bawah. Bukan hanya kesalahan dirinya sendiri, tetapi juga kesalahan orang lain terhadap dirinya juga dia lepaskan. Seluruh masa lalu yang membuatnya bersedih, kesal, marah, benci, dan sejenisnya dia lepaskan. Dia menjadi bebas dari bayang-bayang masa lalu. Dia telah melepaskan seluruh masa lalunya. Inilah yang disebut dengan Moksa.
Kembali ke cerita di awal. Atas kesalahan (dosa) Franky menghilangkan motor temennya, Tuhan sudah mengampuni 100%. Satwika (temannya) juga sudah memaafkan. Tinggal Franky sendiri yang belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Langkah pertama yang harus dijalani Franky adalah mengakui kesalahannya itu. Dia harus ikhlas menerima bahwa hal itu sudah terjadi. Setelah ikhlas menerima, maka dia harus melepaskannya, juga dengan perasaan ikhlas.
Salah satu cara efektif untuk bisa mengakui adalah dengan menuliskannya di atas kertas. Dengan menuliskannya, maka akan terjadi interaksi antara alam bawah sadar, seluruh anggota tubuh, dan alam semesta. Oleh karena itu, pada Hari Siwaratri, sebaiknya kita mempersiapkan alat tulis. Kita inventarisasi kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) yang telah kita perbuat selama setahun terakhir. Kita juga inventarisasi kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) orang lain terhadap kita. Kita tulis seluruh fakta atau kebenaran yang memang benar terjadi. Memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan inventarisasi ini, bahkan sampai kita tidak tidur (jagra) selama 36 jam. Setelah terinventarisasi seluruhnya, maka lepaskanlah seluruhnya. Hal ini bisa dilakukan dengan membakarnya atau pun dengan merobeknya.
Mari kita ikhlaskan perbuatan-perbuatan yang sudah terjadi. Mari lepaskan masa lalu kita. Mari kita bebaskan diri kita dari belenggu masa lalu. Mari kita nikmati masa kini, saat ini, dengan penuh riang gembira, dengan rasa senang dan penuh bahagia. Mari songsong masa depan kita tanpa harus digelayuti masa lalu kita yang negatif. Mari kita sambut masa depan kita dengan opti,isme dan semangat tanpa terbebani hal-hal yang terjadi di masa lalu.
Selamat menjalankan Brata Siwaratri.
Om Shanti Shanti Shanti Shanti Om
I Nyoman Widia
Betapa kagetnya dia karena ternyata motor milik temannya itu sudah tidak ada lagi di tempat semula. Motor hilang. Pikiran Franky berkecamuk, campur aduk antara marah, kesel, sedih, kecewa, dan sejenisnya. Betapa marahnya dia kepada pencuri yang tega-teganya mengambil barang yang kebetulan juga adalah barang pinjaman dari temannya. Betapa kecewanya dia pada dirinya sendiri karena telah memutuskan untuk tidak menjaga sendiri motor itu. Betapa sedihnya dia karena memikirkan bagaimana caranya dia memberitahu kepada Satwika, temannya bahwa motornya hilang. Betapa marahnya nanti temennya begitu mendengar bahwa motornya hilang. Apakah dia harus mengganti motor yang baru sebulan dibeli temannya itu? Bagaimana caranya dia mendapatkan uang untuk membeli motor sementara saat ini dia masih pengangguran?
Dengan perasaan bercampur aduk tidak karuan, akhirnya dia memberanikan diri untuk memberitahukan secara terus terang, secara jujur kepada temannya bahwa motornya hilang sewaktu parkit di pasar. Dia juga minta maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian tersebut. Di luar yang diperkirakan sebelumnya, ternyata Satwika sama sekali tidak marah atas hilangnya motor itu. Bahkan, dia malahan menasihati Franky agar tidak memikirkan lagi kejadian tersebut. Peristiwa hilangnya motor sudah terjadi. Hal itu tidak bisa lagi diubah. Apakah dengan marah-marah, kesal, kecewa, dan bersedih, akan membuat motor itu kembali? Tidak juga. Satwika telah memaafkan perbuatan temannya itu dan sudah tidak mempermasalahkannya lagi, serta tidak meminta Franky mengganti motornya itu. Satwika sudah mengikhlaskannya, tetapi Franky merasa malu, merasa tidak enak, dan merasa bersalah karena telah menghilangkan motor itu. Dia berjanji, apabila suatu saat nanti dia mempunyai cukup uang, dia akan menggantinya.
Setelah kejadian itu, kehidupan Franky berubah. Hari-hari dilaluinya dengan kemurungan. Setiap hari dia berdoa dan memohon ampun kepada Tuhan. Dia masih benci kepada pencuri itu dan dalam setiap doanya memohon kepada Tuhan untuk memberikan ganjaran yang setimpal kepada pencuri itu.
Apakah Tuhan mau mengampuni perbuatan Franky? Apa yang harus dilakukannya agar Tuhan mau mengampuninya?
Dalam ajaran agama apapun, Tuhan adalah Maha Pemaaf, Maha Mengampuni. Jadi, atas kejadian tersebut di atas, Tuhan sudah pasti mengampuni kesalahan yang telah diperbuat Franky. Tuhan sudah memaafkan 100%. Demikian juga dengan Satwika. Satwika pun sudah memaafkan Franky. Permasalahannya adalah Franky sendiri belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Selama Franky belum bisa memaafkan dirinya sendiri, maka masalah tersebut akan membebani dia dalam hidupnya sehari-hari. Masalah tersebut akan menggelayuti perjalanan Franky untuk menggapai masa depan yang lebih baik.
Dalam pergaulan sehari-hari sering kita berbuat salah pada orang lain. Kemudian dengan segera kita meminta maaf dan orang itu pun segera memaafkan. Akan tetapi, diri kita sendiri belum bisa memaafkan kesalahan tersebut. Sepanjang kita belum bisa memaafkan, maka kejadian tersebut akan terus membebani pikiran kita. Kalau terjadi kesalahan lagi di kemudian hari dan kita juga belum bisa memaafkannya, maka beban ini akan menumpuk dan terus menumpuk. Terkadang hal ini akan menimbulkan penyakit pada tubuh kita. Sesungguhnya penyakit yang kita derita sering kali berasal dari kekotoran hati, dari permasalahan-permasalahan yang tertinggal, dari permasalahan-permasalahan yang belum beres, yang terus menumpuk dalam hati dan pikiran kita.
Demikian juga sebaliknya, orang lain yang berbuat kesalahan dan kemudian meminta maaf kepada kita. Sepanjang kita belum bisa memaafkan, maka kesalahan orang tersebut akan terus membayangi pikiran dan hati kita. Apalagi kalau kita masih membencinya. Membenci orang lain sama artinya dengan kita minum racun, tetapi mengharapkan orang lain yang mati pelan-pelan. Orang lain yang kita benci hidupnya tenang dan bahagia, sementara kita sendiri sengsara dibuatnya. Kita akan terbebani terus selama kita belum memaafkan orang itu. Sepanjang kita belum memaafkan, siapapun itu dan apapun itu, akan terus menempati ruang di hati kita secara gratis, tanpa sewa.
Kalau kita kaitkan pembahasan di atas dengan perayaan Hari Siwaratri yang akan kita rayakan, maka hal tersebut sangatlah relevan. Ajaran Hindu sudah menyediakan waktu khusus, yaitu pada Hari Siwaratri, yang jatuh pada sehari menjelang Tilem Kepitu setiap tahun. Biasanya jatuh sekitar bulan Januari, bulan pertama pada tahun kalender.
Mulai pagi hari pukul 06.00 pagi umat Hindu diajarkan untuk mengakui kesalahan-kesalahan yang telah terjadi, baik kesalahan yang dilakukan sendiri atas orang lain, maupun kesalahan orang lain terhadap diri kita sendiri. Mengapa kita harus mengakui? Dengan mengakuinya, maka rasa bersalah (dosa) itu bisa kita lepaskan. Sepanjang kita belum bisa mengakui bahwa sesuatu itu telah terjadi (termasuk kesalahan), maka sesuatu (kesalahan) itu akan sulit kita lepaskan. Rasa bersalah akan terus menggelayuti kita. Oleh karena itu, maka langkah pertama adalah mengakuinya bahwa perbuatan itu sudah terjadi. Kita tidak bisa mengubah segala sesuatu yang sudah terjadi. Kita tidak bisa mengubah masa lalu kita. Yang bisa kita ubah adalah cara kita memandang atas peristiwa tersebut. Yang bisa kita ubah adalah masa depan kita.
Pada cerita Lubdhaka yang sangat terkenal itu, diceritakan bahwa karena tersesat di hutan maka dia memutuskan untuk naik ke atas pohon untuk berlindung dari serangan binatang buas. Agar tidak jatuh sewaktu-waktu, maka dia selalu terjaga (jagra = tidak tidur) dan tetap sadar. Aktivitas yang dilakukan adalah memetik daun bila dan melepaskannya ke bawah. Sambil merenungi perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya selama ini, dia mengakui perbuatan-perbuatan (dosa-dosa) tersebut. Setelah mengakuinya, maka dia lepaskan satu per satu seperti dia melepaskan daun bila satu per satu ke bawah. Bukan hanya kesalahan dirinya sendiri, tetapi juga kesalahan orang lain terhadap dirinya juga dia lepaskan. Seluruh masa lalu yang membuatnya bersedih, kesal, marah, benci, dan sejenisnya dia lepaskan. Dia menjadi bebas dari bayang-bayang masa lalu. Dia telah melepaskan seluruh masa lalunya. Inilah yang disebut dengan Moksa.
Kembali ke cerita di awal. Atas kesalahan (dosa) Franky menghilangkan motor temennya, Tuhan sudah mengampuni 100%. Satwika (temannya) juga sudah memaafkan. Tinggal Franky sendiri yang belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Langkah pertama yang harus dijalani Franky adalah mengakui kesalahannya itu. Dia harus ikhlas menerima bahwa hal itu sudah terjadi. Setelah ikhlas menerima, maka dia harus melepaskannya, juga dengan perasaan ikhlas.
Salah satu cara efektif untuk bisa mengakui adalah dengan menuliskannya di atas kertas. Dengan menuliskannya, maka akan terjadi interaksi antara alam bawah sadar, seluruh anggota tubuh, dan alam semesta. Oleh karena itu, pada Hari Siwaratri, sebaiknya kita mempersiapkan alat tulis. Kita inventarisasi kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) yang telah kita perbuat selama setahun terakhir. Kita juga inventarisasi kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) orang lain terhadap kita. Kita tulis seluruh fakta atau kebenaran yang memang benar terjadi. Memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan inventarisasi ini, bahkan sampai kita tidak tidur (jagra) selama 36 jam. Setelah terinventarisasi seluruhnya, maka lepaskanlah seluruhnya. Hal ini bisa dilakukan dengan membakarnya atau pun dengan merobeknya.
Mari kita ikhlaskan perbuatan-perbuatan yang sudah terjadi. Mari lepaskan masa lalu kita. Mari kita bebaskan diri kita dari belenggu masa lalu. Mari kita nikmati masa kini, saat ini, dengan penuh riang gembira, dengan rasa senang dan penuh bahagia. Mari songsong masa depan kita tanpa harus digelayuti masa lalu kita yang negatif. Mari kita sambut masa depan kita dengan opti,isme dan semangat tanpa terbebani hal-hal yang terjadi di masa lalu.
Selamat menjalankan Brata Siwaratri.
Om Shanti Shanti Shanti Shanti Om
I Nyoman Widia
Jumat, 16 Januari 2009
SIWARATRI : MALAM PENGAMPUNAN DOSA
Hari Sabtu, 24 Januari 2009 mendatang umat Hindu akan merayakan Hari Raya Siwaratri. Selama ini sebagian masyarakat memaknai sebagai malam peleburan dosa atau malam pengampunan dosa. Ada juga yang memaknainya sebagai malam perenungan dosa. Sebagian lagi umat memaknainya sebagai malam sambang semadhi.
Benarkah dosa itu bisa diampuni? Atau dilebur? Dihapus? Apa saja syarat-syaratnya agar dosa kita bisa diampuni? Apakah dengan merayakan Siwaratri dengan melaksanakan seluruh brata yang dipersyaratkan menjadikan dosa kita hapus?
Dalam Siwaratri terdapat tiga brata yang mesti dilakukan, yakni jagra (tidak tidur) selama 36 jam, upawasa (berpuasa makan & minum) selama 24 jam, dan mona brata (tidak bicara) selama 12 jam.
Benarkah dosa itu bisa diampuni? Atau dilebur? Dihapus? Apa saja syarat-syaratnya agar dosa kita bisa diampuni? Apakah dengan merayakan Siwaratri dengan melaksanakan seluruh brata yang dipersyaratkan menjadikan dosa kita hapus?
Dalam Siwaratri terdapat tiga brata yang mesti dilakukan, yakni jagra (tidak tidur) selama 36 jam, upawasa (berpuasa makan & minum) selama 24 jam, dan mona brata (tidak bicara) selama 12 jam.
Langganan:
Postingan (Atom)