Sabtu, 25 September 2010

Hari Saraswati: Sudahkah Pengetahuan itu Mengalir?

Om Suastiastu,

Hari ini, Saniscara Umanis Watugunung, umat Hindu Indonesia di seluruh muka bumi merayakan Hari Saraswati. Makna apa yang bisa kita berikan terhadap hari yang sangat suci bagi umat Hindu ini?

Hari Saraswati diyakini sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan. Kata Saraswati sendiri berasal dari kata “saras” yang artinya mengalir dan kata “wati” yang maknanya adalah mengandung sifat atau bersifat. Jadi, kata saraswati berarti mengandung sifat mengalir. Karena berkaitan dengan pengetahuan, maka yang mengalir itu adalah pengetahuan.

Dalam tataran yang lebih luas, kata mengalir dapat diartikan berkembang. Jika kita mendapatkan sesuatu pengetahuan, maka pengetahuan itu tidak boleh berhenti begitu saja dalam diri kita. Pengetahuan itu wajib kita alirkan agar pengetahuan itu bisa berkembang. Kalau pengetahuan itu berhenti (tidak mengalir), lama-kelamaan pengetahuan itu akan menghilang dari diri kita.

Cara sederhana agar pengetahuan itu tidak berhenti begitu saja dalam diri kita adalah dengan mempraktekkannya. Pengetahuan-pengetahuan yang sudah kita dapatkan, sebaiknya dapat kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mempraktekkan, kita akan mendapatkan manfaat dari pnegetahuan itu. Sesungguhnya, pengetahuan yang tidak dipraktekkan, tidak akan berarti apa-apa.

Contoh sederhana adalah pengetahuan agama tentang Tri Kaya Parisudha yang berarti tiga bentuk perbuatan yang disucikan. Ketiga bentuk perbuatan itu adalah berpikir yang baik (Manacika Parisudha), berkata yang baik (Wacika Parisudha), dan tindakan yang baik (Kayika Parisudha). Sejak bangku sekolah dasar kita diajarkan dan memperoleh pengetahuan tentang Tri Kaya Parisudha ini. Akan tetapi, apakah dalam kehidupan sehari-hari kita sudah mempraktekkannya?

Apakah kita sudah berpikir secara baik (positif) terhadap setiap peristiwa yang ada di sekitar kita, apapun itu? Apakah kita sudah mengelola pikiran kita secara baik dan juga benar, sehingga apapun peristiwa yang terjadi, kita bisa selalu bersikap tenang dengan dilandasi pikiran yang baik dan jernih? Jika kita bisa senantiasa berpikir dengan baik dan jernih (Manacika Parisudha), keputusan yang kita ambil pun akan mampu membuat hidup kita menjadi lebih baik.

Apakah selama ini kita sudah mengeluarkan kata-kata yang baik, sehingga tidak akan menyinggung perasaan orang lain yang mendengarkannya? Apakah pemikiran-pemikiran kita sudah bisa kita uraikan dengan baik dengan kata-kata yang dikeluarkan mulut kita, sehingga orang yang mendengarkan mampu memahami dengan baik?
Contoh lain adalah pada saat kita belajar bahasa Inggris. Banyak buku yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Inggris yang sudah kita baca. Akan tetapi, apabila kita tidak mempraktekkan dengan berbicara dalam bahasa Inggris, maka pengetahuan-pengetahuan yang sudah kita pelajari tersebut tidak akan berguna, bahkan lama-kelamaan akan sirna dari otak kita.

Di samping mempraktekkan, cara mengalirkan ilmu pengetahuan adalah dengan berbagi. Pengetahuan yang sudah kita dapatkan sebaiknya dibagikan kepada orang lain. Semakin banyak kita berbagi, semakin berkembang ilmu pengetahuan yang kita miliki.
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk berbagi ilmu pengetahuan ini. Bisa dengan berdiskusi, saling bertukar pemikiran (ilmu penetahuan), bisa dengan mengajarkannya kepada orang lain, bisa dengan memberikan Dharma Wacana (khusus pengetahuan tentang agama), atau pun dengan menuangkannya dalam bentuk tulisan untuk kemudian disebarluaskan.

Melalui perayaan Saraswati kali ini, marilah kita sering-sering berbagi pengetahuan. Pengetahuan yang tidak dibagi ataupun tidak dipraktekkan, tidak akan memberi manfaat apa-apa, malahan lama-kelamaan akan sirna dari diri kita.

Selamat Hari Raya Saraswati.

Selasa, 31 Agustus 2010

MAKNA HARI PIODALAN

Pura merupakan tempat suci bagi umat Hindu. Masing-masing Pura biasanya mempunyai Hari Piodalan. Ada yang datangnya setiap enam bulan sekali, ada juga yang datangnya setiap tahun. Apa sebenarnya makna Hari Piodalan tersebut?

Berkaitan dengan makna sesuatu hal, ada suatu ungkapan yang dapat kita jadikan bahan pertimbangan ataupun pedoman dalam menjalani hidup ini. Ungkapan tersebut adalah bahwa segala sesuatu yang ada dan/atau terjadi di dunia ini adalah bersifat netral, belum mempunyai makna apa-apa, sampai diri kita sendiri yang memberi makna. Artinya, kita sendiri mempunyai kebebasan untuk memberi makna apapun terhadap apapun. Oleh karena itu, dalam memberikan makna (arti), sebaiknya kita memilih makna yang membuat hidup kita lebih baik, lebih tangguh, lebih hebat, lebih dahsyat, lebih bahagia, dan sejenisnya.

Pedoman tersebut di atas dapat juga kita gunakan dalam memberikan makna terhadap Hari Piodalan sebuah Pura. Makna Hari Piodalan sesungguhnya netral atau bisa dikatakan tidak mempunyai makna sama sekali, sampai diri kita sendiri yang memberi makna.

Bagi umat yang bukan Hindu, mungkin saja memberikan makna yang biasa-biasa saja atas Hari Piodalan. Bahkan, mereka tidak melihat Hari piodalan itu sebagai sesuatu yang spesial. Mereka menganggapnya tidak mempunyai makna apa-apa terhadap kehidupan mereka.

Lain halnya bagi kita sebagai umat Hindu. Umat Hindu akan memberikan makna tersendiri terhadap Hari Piodalan ini. Bahkan, antara umat Hindu yang satu dengan umat Hindu yang lainnya akan memberikan makna yang berbeda juga.

Karena kita mempunyai kebebasan memberikan makna, maka marilah kita berikan makna terhadapa Hari piodalan itu yang dengan makna itu membuat diri kita lebih hebat, lebih baik, lebih tangguh, lebih semangat, lebih bahagia, dan sejenisnya.

Rabu, 30 Juni 2010

MENUJU KEBEBASAN FINANSIAL ALA HINDU

Di suatu sore yang cerah, seorang ayah mengajak anaknya yang berumur tiga tahun jalan-jalan di seputar taman. Betapa bahagianya sang anak melihat bunga-bunga harum semerbak wangi. Hatinya sumringah. Perasaan bahagia juga terpancar dari raut muka sang ayah.

Sementara itu, sang bunda sedang duduk sambil menyusui anak keduanya. Sesekali matanya menelisik membuntuti arah kedua pujaan hatinya. Nampaknya keluarga ini begitu menikmati suasana sore itu.

Ada gula ada semut. Karena sore itu banyak pengunjung yang datang, para penjual makanan juga banyak yang hadir di sana. Tidak ketinggalan penjual es krim yang menjajakan berbagai cita rasa es krim. Ada rasa durian, coklat, susu, moka, dan sebagainya.

Rupanya pedagang es krim lagi dapat durian runtuh. Para pengunjung sore itu didominasi oleh anak-anak. Mereka pun mengerubuti pedagang es krim yang kebetulan pada sore itu hanya ada satu-satunya.

Melihat kerumunan anak-anak, si anak kecil tadi, sebut saja dengan Satwika, merengek-rengek kepada ayahnya untuk dibelikan es krim. Karena merasa sayang sama anak, ayahnya ikut nimbrung untuk antre membelikan es krim untuk anak kesayangannya itu.

Setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit, akhirnya es krim sudah berada dalam genggaman sang ayah. Baru bermaksud menjulurkan tangannya ke arah mulut si anak, anaknya meminta agar dia yang memegang langsung es krim itu. Melihat sorot mata anaknya yang menunjukkan keseriusan, dengan sedikit terpaksa, diberikannya es krim itu untuk dipegang langsung sama anaknya.

Betapa girangnya Satwika kecil karena telah mendapatkan es krim kesukaannya. Dia berlari-lari kecil sambil menggenggam es krim di tangan. Tiba-tiba dia kepleset dan hampir terjatuh ke got. Memang dia tidak jadi terjatuh ke got, tetapi es krim yang ada di tangannya ikut terlempar hingga ke got.

Menyadari es krim kesayangannya terlempar ke got, dia menangis sekencang-kencangnya. Apalagi dia sama sekali belum sempat mencicipinya. Sambil menangis, dia kembali merengek-rengek minta dibelikan es krim lagi. Kali ini dia minta dibelikan tiga sekaligus.

Sejurus ayahnya terdiam. Dia dapat menyelami perasaan anaknya. Es krim kesukaannya terjatuh di saat anaknya sama sekali belum sempat menikmatinya. Rasa iba mendorongnya untuk segera merogoh kocek, tetapi tiba-tiba dia mendengar suara halus dari dalam dirinya. Itulah suara hati nurani.

Hati nuraninya mengingatkan untuk tidak menuruti permintaan anaknya. Apalagi sampai membelikan tiga buah es krim sekaligus. Bagaimana si anak akan bisa memegang dan menjaganya kalau hanya menjaga satu buah es krim saja si anak sudah tidak mampu. Bahkan belum sempat dinikmati, es krim itu sudah terjatuh ke got.
Sebagai seorang ayah yang baik dan bijak, dia sudah memutuskan untuk tidak menuruti permintaan anaknya. Dia tidak akan memberikan tiga es krim ke anaknya yang baru berumur tiga tahun. Pengalaman menunjukkan bahwa bagi seorang anak kecil, memegang dan menjaga satu es krim saja tidak mampu, apalagi memegang sampai tiga. Kalau pun dia mau menuruti permintaan anaknya, itu pun lebih karena kasihan melihat dan mendengar suara tangis. Akhirnya, dia membelikan juga es krim buat anaknya, tetapi hanya satu buah. Itu pun tidak diserahkan langsung, tetapi masih dipegangnya untuk kemudian disuapkannya kepada si anak.

Rabu, 12 Mei 2010

MELALUI PERAYAAN GALUNGAN MENUJU KEBAHAGIAAN BERLIMPAH

Om Suastiastu,
Setiap dua ratus sepuluh (210) hari sekali umat Hindu Indonesia yang berada di seluruh dunia merayakan Hari Raya Galungan. Hari Raya ini selalu jatuh pada setiap hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan. Oleh karena itu, dalam satu tahun takwim (kalender) bisa terjadi dua kali Hari Raya Galungan. Untuk tahun 2010 ini umat Hindu merayakannya pada tanggal 12 Mei 2010 dan 8 Desember 2010. Perayaan ini merupakan bentuk rasa angayubagia (syukur) umat Hindu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kemenangan Dharma yang diraihnya selama ini.

Kemenangan Dharma atas Adharma dapat dimaknai sebagai kemenangan kita mengatasi setiap rintangan dalam bentuk apapun. Kemenangan dalam mengatasi rintangan merupakan sebuah keberhasilan. Oleh karena itu, kemenangan juga berarti kesuksesan. Kesuksesan bermakna pencapaian-pencapaian yang telah berhasil didapat atau diraih. Seseorang dikatakan sukses apabila dia berhasil mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Misalnya seorang mahasiswa yang ingin menamatkan kuliah sarjananya dalam waktu empat tahun. Apabila mahasiswa tersebut benar-benar bisa tamat dalam waktu empat tahun, maka dia dapat dikatakan sudah sukses, yakni telah sukses menamatkan kuliah dalam waktu empat tahun.

Demikian juga dengan seorang karyawan yang ingin tiba di kantor sebelum pukul 07.30 pagi. Karena jalan raya di Jakarta pada pagi hari penuh dengan kendaraan yang melintas, maka kemacetan di pagi hari tidak bisa dihindarkan. Agar bisa sampai di kantor sebelum pukul 07.30, maka orang tersebut harus berangkat dengan mengendarai mobil pagi-pagi dari rumahnya. Jika tiba di kantor sebelum pukul 07.30 pagi, maka dia sudah berhasil mencapai apa yang menjadi keinginannya. Dia sudah sukses sampai di kantor sebelum pukul 07.30 pagi.

Contoh paling sederhana dapat ditunjukkan ketika seorang anak TK diajarkan cara melipat kertas. Anak tersebut kemudian diminta untuk melipat selembar kertas. Begitu si anak TK tersebut berhasil melipat kertas, maka dia sudah bisa disebut sukses melipat kertas.

Sebenarnya sangat banyak kesuksesan yang telah kita raih dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, kita sering kali tidak menyadarinya, apalagi merayakannya. Hal ini terjadi karena kita sering terlalu tinggi memberikan standar kesuksesan. Kesuksesan seseorang sering dikaitkan dengan kepemilikan harta yang banyak ataupun jabatan yang tinggi. Pandangan seperti ini menyebabkan kita tidak menyadari bahwa sejatinya kita sudah sukses. Setiap pencapaian, sekecil apapun, adalah kesuksesan. Akumulasi dari kesuksesan-kesuksesan kecil akan membentuk kesuksesan yang lebih besar.

Melalui perayaan Hari Raya Galungan, kita sesungguhnya dilatih untuk mengakui bahwa kita sejatinya sudah sukses. Kita dilatih untuk senantiasa bersyukur atas kesuksesan-kesuksesan yang sudah diraih. Pengakuan kesuksesan dengan cara bersyukur ini diyakini akan mengundang lebih banyak lagi bentuk kesuksesan yang lain. Hal ini sesuai dengan salah satu hukum alam (Rta) yang berlaku universal dan netral, yakni Law of Attraction (Hukum Daya Tarik).

Menurut Hukum Daya Tarik (Law of Attraction), apa yang kita pikirkan secara fokus akan mampu menarik hal-hal serupa dari alam semesta. Kalau kita memikirkan kesuksesan, maka kita akan menarik kesuksesan-kesuksesan berikutnya. Terlebih-lebih kita bisa mensyukurinya. Rasa syukur akan kesuksesan yang telah kita raih merupakan bentuk ekspresi bahwa kita sudah sukses. Dengan kata lain, mensyukuri kesuksesan berarti kita memproklamasikan kepada alam semesta dan alam bawah sadar bahwa kita sudah sukses. Hal ini akan menarik hal-hal yang ada dalam alam semesta untuk mendukung kita mendapatkan kesuksesan-kesuksesan yang lain yang mungkin lebih besar dari kesuksesan yang telah diraih sebelumnya.

Selama bertahun-tahun kita sudah merayakan Hari Raya Galungan dan selama itu pula kita memaknainya sebagai hari kemenangan Dharma atas Adharma. Terkadang kita tidak dapat mendefinisikan secara jelas, kemenangan yang mana yang kita rayakan. Untuk itu, marilah kita maknai Hari Raya Galungan sebagai hari kemenangan yang berarti pula sebagai hari merayakan kesuksesan-kesuksesan yang telah berhasil diraih. Dengan merayakan dan angayubagia (bersyukur) atas kesuksesan-kesuksesan yang telah diraih, hal ini akan menarik lebih banyak lagi kesuksesan-kesuksesan yang lain, bahkan kesuksesan-kesuksesan yang lebih besar.
Hubungan Sukses dengan Bahagia

Setelah mendapatkan sesuatu yang kita inginkan (sukses), maka sebaiknya kita menyukai sesuatu yang telah kita dapatkan tersebut. Jika kita bisa menyukai sesuatu yang kita dapatkan, maka kita menjadi bahagia. Begitu sederhananya rumus kebahagiaan itu. Padahal, selama ini sering kita meletakkan kebahagiaan tersebut jauh di luar diri kita. Bahkan, kita sering terlalu tinggi memberikan persyaratan untuk bisa mencapai bahagia.

Seorang pemuda mendeklarasikan bahwa dirinya baru akan bahagia apabila dia berhasil mempersunting gadis pujaan hatinya. Hal ini berarti pemuda tersebut meletakkan kebahagiaannya jauh di luar dirinya. Dia tidak akan bahagia jika dia tidak kawin dengan gadis tersebut. Demikian juga dengan seseorang yang mengatakan akan sangat bahagia jika mempunyai rumah bagus lengkap dengan segala bentuk perabotannya. Orang ini telah menggantungkan kebahagiaannya pada benda-benda duniawi.

Bahagia merupakan salah satu bentuk respon kita terhadap segala sesuatu yang terjadi. Bentuk-bentuk respon yang lain adalah gembira, senang, kasih, marah, sedih, benci, dendam, kesal, sakit hati, dan sebagainya. Manusia diberikan kebebasan seratus persen untuk memilih bentuk respon yang akan diberikan atas sesuatu kejadian (stimulus). Sebagai contoh adalah orang yang kehilangan sepeda motor yang baru dibeli seminggu sebelumnya. Orang tersebut diberikan kebebasan untuk memilih apakah dengan hilangnya sepeda motor, dia akan memilih untuk bersedih hati atau tetap senang dan bahagia. Jika dia memilih untuk sedih dan bahkan dendam kepada si pencuri, apakah sepeda motornya akan bisa kembali? Demikian juga jika dia memilih untuk tetap bahagia, apakah sepeda motornya akan ditemukan kembali? Kedua pilihan respon tersebut dampaknya sama, yaitu sama-sama tidak bisa mengembalikan sepeda motor yang hilang. Oleh karena itu, sebaiknya orang tersebut memilih tetap bahagia walaupun sepeda motornya hilang.

Berhubung rumus untuk bahagia sangat sederhana, yakni menyukai sesuatu yang kita dapatkan, maka dengan merayakan kesuksesan (mendapatkan sesuatu yang kita inginkan), secara otomatis kita menjadi bahagia. Sekecil apapun kesuksesan yang telah kita raih, asalkan kita menyukai, apalagi merayakannya, maka kita serta merta akan meraih kebahagiaan. Semakin banyak kita merayakan kesuksesan, semakin bertambah kebahagiaan yang kita dapatkan. Semakin banyak kesuksesan yang kita syukuri, kebahagiaan kita akan semakin berlimpah.

Melalui Hari Raya Galungan marilah kita senantiasa angayubagia (bersyukur) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kesuksesan-kesuksesan yang telah kita raih. Dengan angayubagia, tidak hanya akan bergelimang kesuksesan, tetapi kita juga akan berkelimpahan bahagia. Jika kita sudah berkelimpahan bahagia, maka kita pun bisa membahagiakan orang-orang di sekitar kita.
Akhirnya, Selamat Hari Raya Galungan. Selamat Merayakan Kesuksesan. Selamat meraih kebahagiaan sejati dan selamat berkelimpahan bahagia.

Om Shanti Shanti Shanti Om.

Rabu, 31 Maret 2010

BRAHMAN ATMAN AIKHYAM

Dalam ajaran Hindu terdapat istilah atau ajaran yang disebut dengan "Brahman Atman Aikhyam yang mengandung arti bahwa Brahman (Tuhan) dan Atman (Sang Jiwa) adalah sama. Benarkah Brahman dan Atman itu sama? Bagaimana kita bisa menjelaskan hal tersbut?

Kamis, 25 Februari 2010

KEPADA SIAPA KITA BERGURU?

Om Suastiastu,

Sebentar lagi kita akan merayakan Hari Saraswati yang merupakan perwujudan rasa angayubagia (syukur) atas ilmu pengetahuan yang sudah kita peroleh selama ini. Sebenarnya dari manakah ilmu pengetahuan itu kita dapatkan? Apakah ilmu pengetahuan itu datang dari langit? Ataukah kita dapatkan begitu saja tanpa perlu bantuan orang lain? Kalau memang diperlukan bantuan orang lain, siapakah gerangan orang lain itu?

Pada saat keluar pertama kali dari kandungan ibunya, seorang bayi tidak tahu apa-apa, kecuali suara tangisan yang keluar dari mulut mungilnya. Dengan penuh kasih sang ibu akan mengajarkan nilai-nilai kehidupan pada anaknya. Demikian juga dengan sang ayah. Kedua orang tua (ayah dan ibu) akan mengajarkan segala sesuatunya kepada anak kesayangannya. Mulai dari bagaimana tengkurep, duduk, berdiri, berjalan, dan seterusnya.

Orang yang dijadikan panutan oleh seorang anak adalah kedua orang tuanya. Kedua orang inilah yang tindak tanduknya dijadikan pedoman yang patut digugu dan ditiru. Oleh karena itu, peranan orang tua dalam pendidikan anak sangatlah besar. Merekalah yang menjadi guru untuk pertama kalinya bagi sang anak. Kepribadian anak sangat tergantung dari cara kedua orang tuanya memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ajaran Hindu kedua orang tua ini dinamakan Guru Rupaka.

Setelah memasuki usia sekolah, seorang anak akan menghabiskan sebagian hari-harinya di sekolah. Dari pagi hari hingga siang hari, bahkan juga ada yang sampai sore hari, seorang anak akan mendengarkan petuah-petuah dari para guru. Mulai dari bagaimana cara membaca, cara mengitung, ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, dan ilmu pengetahuan lainnya.

Guru di sekolah merupakan orang yang dijadikan panutan bagi murid. Setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar tentang sesuatu ilmu pengetahuan, seorang murid diperkenankan untuk bertanya kepada guru. Gurulah merupakan sumber dan tempat untuk menggali segala macam pengetahuan. Untuk mengukur penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh guru, diadakanlah serangkaian ujian. Jika berhasil lulus dari ujian, seorang murid akan naik kelas.

Guru di sekolah memegang peranan sangat penting dalam menentukan kemajuan pendidikan suatu bangsa. Di tangan guru-gurulah segala potensi diri yang telah dimiliki murid akan terus digali dan dikembangkan. Jasa para pahlawan yang tidak pernah diberikan tanda jasa ini sangatlah besar dalam memoles kecerdasan seorang murid. Pahlawan tanpa tanda jasa ini dalam ajaran Hindu disebut Guru Pengajian.

Guru Pengajian ini tersebar mulai dari guru-guru di Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menegah Atas, hingga Perguruan Tinggi. Guru di Universitas maupun Sekolah Tinggi yang lebih dikenal dengan sebutan dosen juga termasuk dalam cakupan Guru pengajian.

Setelah menamatkan pendidikan formalnya di sekolah maupun perguruan tinggi, seseorang akan memasuki dunia kerja. Ada yang bekerja pada orang lain dengan menjadi seorang karyawan, ada juga yang membuka usaha sendiri dengan mempekerjakan orang lain. Dalam menjalankan tugas sehari-harinya sebagai karyawan, seseorang membutuhkan sebuah kompetensi yang tentunya perlu ditingkatkan secara berkesinambungan. Untuk bisa meningkatkan kompetensi ini, seseorang perlu mengikuti pelatihan-pelatihan.

Misalnya seorang pegawai yang menangani masalah pajak perusahaan. Untuk terus meningkatkan pengetahuan di bidang perpajakan, orang tersebut perlu mengikuti pelatihan-pelatihan di bidang perpajakan. Dalam pelatihan perpajakan akan ada seorang yang ahli di bidang pajak yang bertindak sebagai narasumber. Para peserta pelatihan akan mendapatkan pengetahuan perpajakan dari instruktur atau narasumber yang memang menguasai dan ahli masalah perpajakan. Demikian juga jika seseorang yang ingin meningkatkan kompetensinya di bidang teknologi informasi. Orang tersebut akan menimba ilmu dari orang yang ahli di bidang teknologi informasi.

Seseorang disebut ahli apabila dia mempunyai pemahaman yang memadai di bidang tertentu dan sanggup mentransfer ilmunya itu kepada orang lain. Orang yang disebut ahli ini merupakan tempat bertanya bagi orang lain yang ingin memperdalam pengetahuannya. Oleh karena itu, pilihan yang paling tepat kalau kita ingin menimba ilmu pengetahuan adalah datang pada ahlinya. Kita mesti berguru kepada orang yang memang ahli di bidangnya. Orang yang ahli (expert) di bidang tertentu inilah sebenarnya yang disebut dengan Guru Wisesa.

Kata wisesa sama maknanya dengan pradnyan yang berarti pintar atau ahli. Orang yang pradnyan atau wisesa atau ahli merupakan orang yang paling tepat untuk menimba, belajar, atau memperoleh ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian (kewisesaan) orang tersebut. Orang yang wisesa adalah guru yang patut digugu dan ditiru untuk bidang yang menjadi keahliannya.

Setelah kita berguru kepada orang tua di rumah (Guru Rupaka), guru-guru atau dosen di sekolah atau perguruan tinggi (Guru Pengajian), dan orang-orang yang ahli di bidangnya (Guru Wisesa), maka kita juga sebenarnya bisa belajar pada diri sendiri. Sang Diri yang bersemayam pada hati dan jiwa dapat menuntun dan membimbing kita ke arah kebajikan. Sebagai penuntun dan pembimbing ke arah kebaikan, diri kita sendiri sejatinya adalah juga seorang guru. Inilah yang disebut dengan Guru Swadhyaya.

Kata swadhyaya berasal dari kata “swa” yang artinya sendiri dan “adhyaya” yang berarti belajar, sehingga kata swadhyaya mengandung makna belajar pada diri sendiri. Oleh karena itu, dalam diri kita sesungguhnya terdapat guru yang agung yang mampu menuntun dan membimbing kita menuju kesuksesan dalam hidup.
Bagaimana caranya kita agar mendapatkan bimbingan dari guru sejati yang ada dalam diri? Adakah cara jitu untuk bisa dengan mudah mendapatkan tuntunan hidup dari Sang Diri? Siapakah sebenarnya Guru Swadhyaya ini?

Serangkaian pertanyaan tersebut di atas akan bisa terjawab apabila kita sering melakukan perenungan dan perjalanan diri ke dalam. Sering-seringlah berkunjung ke dalam diri sambil membersihkan hati kita dari pikiran-pikiran kotor (emosi negatif). Hati yang bersih akan memudahkan munculnya Sang Guru Sejati.

Melalui perayaan Hari Saraswati kali ini marilah kita merenung sejenak, membersihkan jiwa kita, agar kita bisa menemukan Guru Swadhyaya yang mampu menuntun dan membimbing kita dalam mengarungi samudera kehidupan untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia ini.

Selamat Hari Raya Saraswati.

Om Shanti Shanti Shanti

Kamis, 14 Januari 2010

SORGA, NERAKA, DAN MOKSA

Om Suastiastu,

Hampir setiap ajaran agama di muka bumi ini mengenal adanya Sorga dan Neraka, tetapi hanya ajaran Hindu yang mengenal Moksa. Apakah Sorga dan Neraka itu merupakan sebuah tempat? Kalau merupakan sebuah tempat, pertanyaan kita berikutnya adalah: di manakah tempat itu berada? Benarkah Sorga dan Neraka itu ada? Bagaimanakah keadaan tempat-tempat tersebut? Siapakah yang sudah pernah ke sana dan mau menceritakannya?

Selama ini kebanyakan orang meyakini bahwa Sorga atau Neraka merupakan tempat yang akan kita tuju setelah kita meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Sorga merupakan tempat yang penuh kenikmatan, suasana menyenangkan, banyak bidadari yang tentunya cantik-cantik, penuh cinta dan kasih sayang, serta hal-hal yang menyenangkan lainnya. Sebaliknya, neraka merupakan tempat orang-orang yang menderita, sengsara, penuh siksaan, dan hal-hal yang menyedihkan lainnya.

Sampai saat ini saya belum pernah berjumpa dengan orang yang sudah pernah pergi ke Sorga ataupun sudah pernah mampir ke Neraka. Saya juga belum pernah berkunjung ke tempat tersebut. Oleh karena itu, saya tidak akan menceritakan bagaimana kondisi Sorga dan Neraka yang merupakan domisili setelah kematian itu. Akan tetapi, saya akan membahas analogi dari Sorga dan Neraka dalam kehidupan nyata sehari-hari. Mari kita simak ilustrasi berikut.

Tyaga (bukan nama sebenarnya) adalah seorang gadis manis yang baru menginjak usia remaja. Seperti gadis-gadis lain seusianya, Tyaga mulai menjalin cinta kasih dengan seorang pemuda. Sebut saja namanya Suastantra. Walaupun mereka masih dalam usia remaja, tetapi jalinan kasih di antara mereka sangat serasi dan indah. Tyaga menyayangi Suastantra dengan sepenuh hati. Suastantra setali tiga uang. Dia sangat mengasihi Tyaga.

Dalam keseharian, Tyaga menjelma menjadi gadis yang periang, berperilaku menyenangkan, suka menolong sesama, gampang memaafkan orang lain, serta hidupnya bahagia. Orang-orang pun suka bergaul dengan Tyaga.

Kalau dibandingkan dengan suasana kehidupan di Sorga seperti yang diajarkan agama selama ini, kehidupan yang dialami Tyaga dapat kita katakan sebagai Sorga. Tyaga sudah mencapai Sorga dalam kehidupannya sekarang. Hidupnya berkelimpahan cinta kasih, kesenangan, di kelilingi oleh orang-orang yang menyenangkan, serta hal-hal yang menyenangkan lainnya.

Pada suatu hari, Tyaga mengajak pacarnya untuk jalan-jalan naik motor ke luar kota. Awalnya Suastantra menolak secara halus karena masih harus mengerjakan tugas sekolah. Akan tetapi, berhubung Tyaga mendesaknya, akhirnya mereka dengan berboncengan motor pergi ke luar kota untuk memadu kasih. Dengan laju motor yang biasa-biasa saja, tiba-tiba dari arah yang berlawanan datang sebuah truk dengan kecepatan sangat tinggi menabrak sepeda motor mereka. Tabrakan pun tidak bisa dihindarkan.

Akibat dari kejadian itu, Suastantra terluka parah di kepalanya, sedangkan Tyaga mengalami luka-luka ringan, sedangkan motornya hancur. Mereka cepat-cepat dilarikan ke rumah sakit. Setelah mengalami perawatan cukup intensif selama beberapa hari, akhirnya Suastantra meninggal dunia.

Betapa sedih hati Tyaga ditinggal kekasihnya untuk selama-lamanya. Di samping sedih yang mendalam, ada perasaaan yang bersalah di hatinya. Musibah ini berawal dari ajakan dirinya untuk pergi ke luar kota. Rasa sedihnya bertambah tatkala dia ingat bahwa kekasihnya itu sebenarnya sudah menolak, tetapi karena dia yang mendesak, maka pergilah mereka berdua naik motor hingga ditabrak truk yang sopirnya ugal-ugalan itu. Tyaga menjadi benci pada dirinya sendiri. Rasa benci juga timbul kepada sopir truk yang tidak bertanggung jawab yang karena ulahnya telah merenggut nyawa kekasihnya.

Perasaan sedih yang timbul, rasa bersalah, rasa benci pada diri sendiri dan kepada sopir truk terus menyiksa dirinya. Inilah Neraka yang sesungguhnya.

Bagaimana caranya dia lepas dari Neraka ini?

Untuk membebaskan dari rasa bersalah ini Tyaga harus bisa memaafkan dirinya. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk dapat memaafkan diri sendiri. Pertama, Tyaga sebaiknya memohon ampun kepada Tuhan atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Walaupun Tuhan sudah pasti mengampuni, tetapi tindakan memohon ampun merupakan jembatan emas untuk bisa memaafkan diri sendiri. Tanpa meminta maaf pun sebenarnya Tuhan sudah memaafkan, tetapi tidak demikian dengan diri kita. Memaafkan diri sendiri memerlukan proses.

Setelah memohon ampun kepada Tuhan, tindakan berikut yang sebaiknya dilakukan Tyaga adalah memohon maaf kepada keluarga kekasihnya. Memohon maaf kepada orang lain merupakan cara ampuh untuk mempercepat proses memaafkan diri sendiri.

Dengan memohon ampun kepada Tuhan dan memohon maaf kepada orang lain, maka proses melepaskan diri dari rasa bersalah akan terjadi. Perlahan-lahan rasa bersalah itu akan lepas untuk kemudian akan menjadi terbebaskan dari rasa bersalah. Tyaga akan terbebaskan dari beban rasa bersalah yang menghimpitnya.

Bagaiamana dengan perasaan bencinya kepada sopir truk? Rasa benci ini akan terus membebani Tyaga sepanjang Tyaga belum memaafkannya. Selama belum memaafkan, maka Tyaga akan tersiksa oleh rasa benci tersebut. Oleh karena itu, dia perlu dengan ikhlas memaafkan sang sopir. Memaafkan orang lain berarti proses melepaskan beban berat berupa rasa kebencian pada orang lain. Dengan memaafkan, Tyaga akan terbebas dari beban. Memaafkan sejatinya adalah membebaskan diri dari siksaan.

Kedua tindakan Tyaga, yakni memaafkan diri sendiri dan memaafkan orang lain akan mampu membebaskan Tyaga dari siksaan Neraka di dunia nyata ini. Apabila Tyaga berhasil terbebas dan terlepas dari ikatan-ikatan ini untuk selamanya, maka Tyaga sudah mampu mencapai Moksa karena kata Moksa sendiri sebenarnya berarti bebas atau lepas. Tyaga sudah bisa melepaskan beban-beban yang menghimpit, sekaligus membebaskan dirinya dari beban tersebut. Tyaga sudah mencapai Suka Tanpawali Duka.

Selamat Menjalankan Brata Siwaratri.

Om Shanti Shanti Shanti Om