Sabtu, 09 Juli 2016

Hari Tumpek Landep

Om Suastiastu,
Hari ini umat Hindu merayakan Hari Tumpek Landep. 
Tumpek merupakan pertemuan hari terakhir dari Sapta Wara (Redite, Soma, Anggara, Buda, Wraspati, Sukra, dan Saniscara) dan Panca Wara (Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon), yaitu Sanicara Kliwon. Ada enam Saniscara Kliwon (Tumpek) dalam setahun dan Tumpek Landep merupakan Tumpek pertama. Selanjutnya ada Tumpek Wariga, Tumpek Kuningan, Tumpek Klurut, Tumpek Uye, dan Tumpek Wayang.
Kata Landep mengandung arti runcing atau tajam. Secara sederhana, Tumpek Landep dapat dimaknai sebagai hari untuk memberi penghargaan/apresiasi terhadap benda-benda tajam yang telah banyak membantu kehidupan kita sebagai manusia. Sebagai bentuk apresiasi, umat Hindu pada hari ini membuat banten untuk dipersembahkan kehadapan Hyang Widhi Wasa sebagai wujud rasa syukur yang mendalam karena telah tercipta benda-benda tajam/runcing yang dapat mempermudah kehidupan manusia. Benda-benda tajam itu dapat berupa pisau, gunting, atau benda-benda pusaka seperti keris, tombak, dan lain-lain.
Kenapa kita mesti memberi apresiasi terhadap benda-benda mati yang tidak bernyawa? Apakah benda-benda mati itu mengerti?
Hyang Widhi menciptakan alam semesta beserta isinya dan masuk merasuk ke dalam ciptaan-Nya, sehingga dalam setiap ciptaan-Nya, termasuk benda-benda mati, terdapat unsur dari Hyang Widhi. Sebagai contoh sederhana, rumah yang merupakan benda mati, jika tidak ditempati/ditinggali akan lebih mudah/cepat keropos dari pada rumah yang ditempati.
Apabila kita memberi penghargaan dan apresiasi kepada benda-benda tajam yang salah satu caranya adalah dengan membuat banten pada Hari Tumpek Landep, maka kita akan memancarkan energi positif kepada benda-benda itu. Dengan memancarkan energi positif, maka akan terjalin saling kasih di antara manusia dan benda-benda tajam tersebut. Dengan demikian, maka benda-benda tersebut akan semakin berguna bagi kehidupan manusia dan semakin memberikan dampak yang positif dalam mempermudah kehidupan manusia.
Lantas bagaimana kecenderungan sebagian umat Hindu yang memaknai Tumpek Landep sebagai otonan mobil, motor, dan peralatan lainnya yang tidak tajam? Apakah hal ini salah?
Seperti diuraikan di atas, ketika kita memberi apresiasi terhadap suatu benda, maka kita akan mengirimkan energi cinta kasih (positif) kepada benda itu. Hal yang sama akan terjadi ketika kita membuat banten yang dipersembahkan kehadapan Hyang Widhi sebagai perwujudan rasa syukur karena kita memiliki benda-benda seperti motor dan mobil. 
Bagi yang mengikuti tradisi ini, pagi-pagi sudah mencuci motor dan/atau mobilnya. Apalagi mencucinya dilakukan sendiri. Ketika mencuci mobil/motor, ada pancaran kasih sayang dari kita kepada mobil/motor, sehingga relasi kita semakin baik dengan alat transportasi tersebut. Tentu hal ini membawa dampak yang positif ke depannya bagi keamanan dan keselamatan kita dalam menggunakan alat transportasi tersebut.
Dengan adanya tradisi untuk memberi apresiasi kepada sesuatu diluar manusia, hal ini akan menumbuhkan semakin banyak modal bagi diri manusia untuk memberi apresiasi kepada sesama manusia. Hal ini sesuai dengan ajaran Upeksa dalam Catur Paramita yang mengajarkan kita untuk memberikan penghargaan kepada orang lain. Kalau kita sudah terbiasa memberikan penghargaan kepada sesuatu selain manusia, maka memberi penghargaan kepada manusia bukan lagi sesuatu yang sulit, tetapi dengan mudahnya kita bisa memberikan penghargaan kepada sesama manusia.
Adakah makna lain dari perayaan Tumpek Landep?
Kalau duhubungkan dengan rangkaian Hari Saraswati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan yang kita rayakan dua minggu yang lalu dan Hari Raya Pagerwesi yang kita rayakan sepuluh hari yang lalu, maka kita bisa memaknainya sebagai sebuah komitmen kehadapan Hyang Widhi bahwa ilmu pengetahuan yang sudah kita peroleh hendaknya terus kita asah secara berkesinambungan agar senantiasa pikiran kita tajam dalam mencermati sesuatu, sehingga kita senantiasa bijak dalam mengambil sebuah keputusan.
Mari kita terus-menerus pertajam (landep) pikiran kita dengan cara belajar secara kontinyu agar kita bisa memberikan segala sesuatu yang terbaik kepada kehidupan ini melalui peran kita masing-masing.
Selamat merayakan Hari Tumpek Landep.
Om Santi Santi Santi Om
Salam berkelimpahan bahagia,
I Nyoman Widia

Sabtu, 29 Maret 2014

DENGAN MELAKSANAKAN DHARMA NEGARA KITA WUJUDKAN HARMONI NUSANTARA


Om Suastiastu,
Pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih anggota legislatif akan berlangsung 9 April 2014 mendatang. Kampanye terbuka sudah berlangsung dan akan berakhir pada 5 April 2014. Di tengah-tengah semaraknya pesta demokrasi, khususnya kampanye terbuka, umat Hindu menyambut pergantian Tahun Baru Saka pada 31 Maret 2014 dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian. Momen yang sangat langka ini sungguh merupakan sesuatu yang sarat makna. Apakah itu?
Dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian, yaitu tidak bepergian (amati lelungan), tidak bekerja (amati karya), tidak menyalakan api (amati gni), dan tidak bersenang-senang dengan pihak lain atau sesuatu benda (amati lelanguan), terciptalah suasana sepi. Apalagi ditambah dengan mona brata (tidak berkomunikasi dengan pihak lain) dan upawasa (puasa makan dan minum), maka sensasi suasana sepi dan hening makin terasa.
Suasana yang hening dan sepi merupakan wahana yang sangat istimewa untuk melakukan komunikasi dengan diri sendiri (perenungan). Beberapa pertanyaan dapat kita lontarkan, termasuk pertanyaan yang terkait dengan pesta demokrasi. Sudahkah kita melaksanakan kewajiban-kewajiban kita sebagai warga Negara dengan baik (Dharma Negara). Akankah kita mengeksekusi hak kita sebagai warga Negara dengan mendatangi TPS pada 9 April mendatang? Sudahkah kita menentukan pilihan? Apakah kita sudah melaksanakan kampanye yang simpatik? Bagaimana cara-cara kita memikat calon pemilih agar mau memilih diri kita? Apakah sudah sesuai dengan etika dan aturan-aturan yang berlaku? Dan masih banyak pertanyaan beragam yang muncul. Masing-masing orang tentunya mempunyai pertanyaan yang berbeda.
Baik sebagai peserta pemilu, anggota partai, simpatisan, ataupun sebagai calon pemilih, kita punya hak dan kewajiban masing-masing. Dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing kadang kita saling bersinggungan satu sama lain. Ada kalanya kita sendiri yang berbuat kesalahan, sehingga menyinggung perasaan pihak lain. Sebaliknya, dapat pula orang lain yang berbuat kesalahan, sehingga membuat diri kita sakit hati. Bagaimana caranya agar kejadian-kejadian itu tetap membuat kita tetap harmonis dan hidup berdampingan secara damai?
Dalam agama Hindu dikenal ajaran Tat Twam Asi. Konsep ini mengajarkan kepada kita bahwa antara Anda dan saya adalah sama. Dalam bahasa sederhana ajaran ini mengajak kita untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Hal ini karena sejatinya kita adalah sama, sama-sama ciptaan Tuhan. Jika kita ingin dihormati orang lain, hormatilah orang tersebut terlebih dahulu. Apabila pendapat kita ingin dihargai, maka biasakan untuk menghargai pendapat orang lain terlebih dahulu. Dengan memperlakukan orang lain secara baik, maka orang lain pun akan memperlakukan diri kita secara baik.
Syarat utama agar kita bisa memperlakukan orang lain secara baik adalah dengan memperlakukan diri kita sendiri secara baik terlebih dahulu. Dengan kalimat yang berbeda, apabila kita ingin harmonis dengan orang lain, maka terlebih dahulu kita mesti harmonis dengan diri sendiri. Adalah sulit bisa harmonis dengan orang lain jika kita belum harmonis dengan diri sendiri. Untuk bisa harmonis dengan diri sendiri, maka kita perlu memperbaiki kualitas komunikasi dengan diri sendiri. Semakin baik kualitas komunikasi kita dengan diri sendiri, semakin harmonis hubungan kita dengan diri sendiri.
Dengan menyepi selama 24 jam kita memperoleh kesempatan untuk terus meningkatkan kualitas relasi dengan diri sendiri. Selama kurun waktu ini kita dapat melaksanakan ajaran Catur Paramitha terhadap diri kita, yaitu: (i) menjalin persahabatan dengan diri sendiri (maitri); (ii) meningkatkan rasa cinta pada diri sendiri (karuna); (iii) senang pada diri sendiri (mudita); dan (iv) memberikan penghargaan pada diri sendiri (upeksa). Dengan menerapkan ajaran Catur Paramitha terhadap diri sendiri, relasi dengan diri sendiri menjadi semakin harmonis.
Relasi yang harmonis dengan diri sendiri merupakan modal kuat untuk meningkatkan kualitas relasi dengan pihak lain. Ketika kita sudah menerapkan ajaran Catur Paramitha pada diri sendiri, maka kita dengan mudah dapat menerapkannya kepada orang lain. Ketika orang lain berbuat kesalahan, dengan segera kita bisa memaafkannya. Hal ini karena kita sudah memandang orang tersebut sebagai seorang sahabat (maitri). Dalam pandangan mata seorang sahabat, kita lebih mengutamakan cinta kasih (karuna) daripada kebencian. Kebencian hanya akan memperkeruh suasana. Rasa benci akan menjadi beban dan menggelayuti perjalanan kita ke depan. Memaafkan adalah upaya untuk membebaskan diri dari beban kebencian.
Dalam suasana hati yang senang dan riang gembira (mudita), kita akan lebih mudah membuat orang lain senang. Kita akan berusaha menampilkan hal-hal yang terbaik dari kita buat diberikan kepada orang lain. Sedikit pun tidak terbersit dalam pikiran untuk berbuat sesuatu yang membuat orang lain tidak senang.
Walaupun pihak lain mempunyai pendapat yang berbeda, dengan senang hati kita bisa menerima dan menghargainya (upeksa). Perbedaan pendapat justru membuat wawasan berpikir kita menjadi semakin luas. Adanya perspektif berpikir yang berbeda dari orang lain dapat memacu kreativitas kita untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran yang lebih berkualitas.
Terkait dengan pelaksanaan pemilu legislatif tahun ini, marilah kita gunakan momen Hari Raya Nyepi ini untuk meningkatkan kualitas relasi dengan diri sendiri, sehingga relasi dengan orang lain semakin harmonis. Mari terapkan ajaran luhur Tat Twam Asi dan Catur Paramitha dalam menyambut pesta demokrasi tahun ini. Walaupun berbeda partai, kita tetap satu (tat twam asi). Meskipun berbeda pilihan, kita tetap saling menghargai (upeksa). Mari terus pupuk dan kembangkan tali persahabatan (maîtri) dan jalinan cinta kasih (karuna) antara sesama anak bangsa, sehingga kita bisa melaksanakan hak dan kewajiban kenegaraan (Dharma Negara) kita dengan sebaik-baiknya demi  terwujudnya harmoni nusantara, yang pada akhirnya akan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semakin makmur dan sejahtera.
Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1936.

Om Santi Santi Santi Om

Minggu, 07 Juli 2013

MENDIDIK ANAK DENGAN WACIKA PARISUDHA



Om Suastiastu,
Seorang ibu muda, sebutlah namanya Dessy, dengan ditemani suaminya pergi ke sebuah pesraman di daerah Bogor. Anak semata wayangnya, sebutlah namanya Arya, yang berumur 5 tahun juga ikut diajak. Sebenarnya Dessy sudah pernah berkonsultasi dengan seorang psikolog untuk mengatasi permasalahan anaknya. Memang sempat terjadi perubahan sikap pada Arya, tetapi hal itu hanya sementara. Setelah satu bulan, sifat-sifat negatif anaknya kembali kambuh.
Dessy memperoleh informasi bahwa di daerah Bogor di kaki Gunung Salak terdapat sebuah pesraman yang asri dan sejuk. Pimpinan pesraman adalah seorang guru yang sangat bijaksana. Dengan nasihat bijak nan teduh, banyak permasalahan kehidupan orang-orang yang datang kepadanya dapat diselesaikan dengan baik. Pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikannya adalah dalam perspektif ajaran Hindu.
Sesampainya di Pesraman Premahita Tyagasanti, setelah mengucapkan salam panganjali, Dessy menyampaikan permasalahan anaknya kepada Sang Guru. Dessy berkeluh kesah tentang perilaku anaknya yang semakin tidak dapat dikendalikan belakangan ini.
“Arya suka marah-marah. Orangnya keras kepala. Apapun yang diinginkan mesti dipenuh. Kalau tidak, dia akan membanting barang-barang yang ada di sekitarnya. Tidak hanya barang mainan miliknya, tetapi juga merembet ke barang-barang lainnya. Kalau keinginannnya belum juga dipenuhi, bahkan dia akan terguling-guling di lantai sambil menangis. Di samping itu, anak kami orangnya pemalas, susah sekali dibangunkan pagi-pagi. Kami sangat khawatir akan masa depan Arya. Kalau terus-terusan begini, bahkan makin lama makin parah, akan menjadi apa anak saya di kemudian hari?” keluh Dessy.
Sebenarnya Dessy masih ingin menumpahkan lebih banyak lagi uneg-unegnya di hadapan Sang Guru, tetapi keburu dihentikan. Sang Guru berkata: “Tolong hentikan semua keluh kesah Nak Dessy! Kata-kata yang keluar banyak mengandung energi negatif. Hal itu tidak baik. Apalagi ucapan Nak Dessy juga didengar oleh Arya. Walaupun tadi Arya diam dan tidak bereaksi apa-apa, tetapi seluruh kata-kata yang didengarnya dari Nak Dessy akan terekam dalam dirinya dan semakin meyakinkan pada dirinya bahwa seperti itulah seorang Arya akan tumbuh dan berkembang nantinya. Apakah Nak Dessy sering menceritakan kondisi Arya seperti ini kepada orang lain?” Sang Guru balik bertanya kepada Dessy.
“Benar, Guru! Saya sering menceritakan hal ini kepada kedua orang tua saya, kedua mertua saya, kepada saudara-saudara saya, dan juga kepada teman-teman. Saya ingin berkeluh kesah dan mengeluarkan uneg-uneg saya. Saya ingin mendapatkan komentar dan tanggapan dari mereka,” jawab Dessy.
Sang Guru lalu melanjutkan. “Dalam ajaran Hindu ada yang disebut Tri Kaya Parisudha, yaitu tiga unsur perilaku yang baik, positif, dan suci. Yang pertama adalah Manacika Parisudha, yaitu kita diajarkan untuk berpikir yang baik, berpikir yang positif. Kedua adalah Wacika Parisudha, yaitu kata-kata yang kita keluarkan adalah kata-kata yang baik dan memancarkan energi positif. Dan yang terakhir adalah Kayika Parisudha. Dengan Kayika Parisudha kita diajarkan untuk bertindak dan berbuat yang baik.”
“Apa hubungannya Tri Kaya Parisudha dengan perilaku anak saya, Guru?” sergah Dessy.
“Terbentuknya perilaku Arya seperti keadaan yang diceritakan tadi tidak terlepas dari ajaran Tri Kaya Parisudha, khususnya Wacika Parisudha. Mengapa kita diajarkan untuk menata kata-kata yang keluar dari mulut kita agar senantiasa kata-kata yang baik dan memancarkan energi yang positif? Hal ini karena kata-kata yang kita keluarkan, tidak hanya berdampak kepada orang yang mendengarkan, tetapi berdampak pula terhadap diri kita sendiri. Dalam hal mendidik anak, kalau kita sering mengucapkan kata-kata yang tidak baik, misalnya hal-hal yang tidak baik tentang perilaku si anak, maka anak kita merekamnya dan menjadikannya sebagai sistem keyakinan dalam dirinya, sehingga perilakukan cenderung seperti apa yang sering kita ucapkan. Kalau kita sering mengatakan bahwa anak kita suka marah-marah, suka membanting barang-barang, keras kepala, atau malas, maka kata-kata tersebut akan meresap dan melekat dalam memorinya. Padahal, yang kita katakan adalah peristiwa atau sifat-sifat yang terjadi di masa lalu. Karena kita mengatakan secara berulang-ulang, maka hal ini akan diyakini sebagai sifat diri si anak. Semakin sering didengarnya, maka semakin yakin bahwa seperti itulah dirinya. Lama-kelamaan jadilah sifat-sifat itu menjadi karakter si anak.
Ketika kita menceritakan sifat-sifat tidak baik anak kepada orang lain, orang yang pertama kali mendapat dampak negatif adalah diri kita sendiri. Saat bercerita kepada orang lain, pikiran bawah sadar kita merekam cerita kita dan menjadikannya sistem keyakinan. Walaupun yang kita ceritakan adalah peristiwa atau sifat-sifat masa lalu dari anak kita, tetapi pikiran bawah sadar kita menerimanya sebagai keadaan yang sekarang dan menjadi keyakinan di masa yang akan datang. Mindset kita terhadap anak juga berubah. Kita meyakini bahwa seperti itulah sifat-sifat anak kita sekarang dan di masa depan. Mindset orang tua yang seperti itu akan memancar terus kepada anak dan anak pun akan terpengaruh menyesuaikan dengan mindset kita.
Oleh karena itu, mulai sekarang dan seterusnya, ubahlah kata-kata yang keluar dari mulut kita. Selektiflah dalam memilih kata-kata. Upayakan agar kata-kata yang keluar adalah kata-kata yang memancarkan energi positif. Amalkan ajaran Wacika Parisudha! Mulai sekarang dan seterusnya katakan hal-hal yang baik dan positif tentang Arya. Katakan bahwa Arya semakin pintar, tambah rajin, makin baik sifat-sifatnya, makin ramah, semakin sayang pada barang-barang miliknya, dan sejenisnya.  Katakan sifat-sifat baik ini secara berulang-ulang. Mulai dari pagi hari ketika bangun tidur, siang hari, dan malam hari menjelang tidur. Semakin sering semakin baik. Kata-kata yang Wacika Parisudha akan memancarkan energi positif kepada anak. Hal ini sangat bagus buat perkembangan anak. Apakah Nak Dessy dan suami mau mengamalkan ajaran Tri Kaya Parisudha, khususnya Wacika Parisudha ini?” selidik Sang Guru.
Secara spontan dan bersamaan Dessy dan suaminya menganggukan kepala seraya berkata, “Terima kasih Guru. Terima kasih atas nasihat bijak Guru yang sangat berguna bagi kami dalam mendidik anak. Mulai sekarang dan seterusnya kami berjanji untuk mengamalkan ajaran Tri Kaya Parisudha, terutama Wacika Parisudha dalam mendidik Arya. Kami akan mengatakan hal-hal yang baik, kata-kata yang berenergi positif dalam mendidik Arya. Arya adalah orang yang hebat, cerdas, rajin, semakin menyayangi barang-barang yang ada di rumah, semakin ramah, dan sifat-sifat positif lainnya. Mudah-mudahan Arya tumbuh kembang menjadi anak yang hebat di kemudian hari. Menjadi pemimpin di masyarakat yang mampu membawa umat Hindu semakin berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terima kasih.”
Om Santi Santi Santi Om.

Kamis, 14 Maret 2013

DAMAI DAN HARMONIS DALAM KEBERAGAMAN

Om Suastiastu,

Hari ini, selama dua puluh empat jam, umat Hindu merayakan pergantian Tahun Saka. Menariknya, kedatangan tahun baru tidak disambut dengan gegap gempita, apalagi pesta pora. Sebaliknya, umat Hindu menyambutnya dengan suasana hening nan sepi. Itulah sebabnya, pergantian Tahun Saka ini lebih dikenal dengan Hari Raya Nyepi.

Dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian, yaitu tidak bepergian (amati lelungan), tidak bekerja (amati karya), tidak menyalakan api (amati gni), dan tidak mengumbar kesenangan (amati lelanguan), terciptalah suasana sepi dan hening di dalam keluarga. Ditambah lagi dengan mona brata (tidak berbicara) dan upawasa (puasa makan dan minum), maka semakin khidmatlah suasana penyambutan tahun baru tersebut.

Suasana yang hening, sepi, dan penuh kedamaian adalah momen yang sangat istimewa untuk melakukan perenungan. Dalam perenungan kita dapat melakukan kilas balik dan reviu terhadap perjalanan satu tahun yang lewat. Dengan merenung kita dapat menyusun rencana-rencana perjalanan satu tahun ke depan.

Dari berita media massa kita mengetahui bahwa bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami disorientasi nilai-nilai. Beberapa elite politik korup, masyarakat gampang marah, serta aparat negara kerap bertindak brutal.

Rasa damai di hati seakan-akan telah menjadi barang langka. Di panggung politik sering terjadi kegaduhan. Para politisi kurang memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Di masyarakat pun sering terjadi gesekan antar etnis yang kadang dipicu oleh hal-hal yang sepele.

Bagaimana cara menumbuhkan, memelihara, dan meningkatkan rasa damai di hati? Bagaimana pula caranya mengembangkan harmoni di tengah-tengah keberagaman bangsa Indonesia?

Dalam Kitab Suci Weda terdapat satu ajaran yang disebut Tat Twam Asi. Konsep ini mengajarkan kepada kita bahwa antara Anda dan saya adalah sama. Dalam bahasa sederhana ajaran ini memberi tahu kita untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Mengapa? Karena sejatinya kita adalah sama. Jika kita ingin diperlakukan secara sopan, maka berlakulah sopan terhadap orang lain. Jika kita ingin dihormati orang lain, hormatilah orang tersebut. Apabila pendapat kita ingin dihargai, maka biasakan untuk menghargai pendapat orang lain terlebih dahulu.

Penjabaran lebih lanjut dari ajaran Tat Twam Asi adalah ajaran Catur Paramitha, yaitu empat perilaku yang utama yang hendaknya dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, sebagai umat Hindu kita diajarkan untuk memandang setiap orang sebagai seorang sahabat (Maitri). Siapapun orang itu, perlakukanlah sebagai seorang sahabat. Layaknya seorang sahabat, maka kita akan memberikan sesuatu yang terbaik untuk mereka.

Yang kedua disebut Karuna, yakni hendaknya kita senantiasa mengasihi setiap orang. Jika kita sudah memperlakukan orang lain sebagai seorang sahabat, sifat mengasihi sangat diperlukan untuk memelihara jalinan persahabatan tersebut. Energi kasih yang kita pancarkan mampu menyapu bersih energi-energi negatif yang muncul.

Bagian ketiga dari ajaran ini adalah Mudita, yaitu berperilaku riang gembira dan mampu menyenangkan orang lain. Perasaan riang gembira dalam diri diyakini dapat membuat orang lain menjadi senang. Kegembiraan diri kita dapat menular kepada orang lain.

Bagian terakhir dari Catur Paramitha adalah Upeksa yang artinya menghargai dan menghormati orang lain. Di samping kita diajarkan untuk menghargai pendapat-pendapat orang lain dan menaruh rasa hormat kepada orang lain, kita juga hendaknya sering-sering memberikan penghargaan berupa pujian kepada orang lain. Dengan pujian, orang akan lebih terpacu untuk meningkatkan prestasi yang pernah diraihnya.

Apabila ajaran luhur ini kita implementasikan pada kehidupan sehari-hari, kita menjadi terbiasa memperlakukan orang lain dengan sebaik-baiknya. Kita selalu menghormati orang lain, menyayangi, dan memberikan sesuatu yang terbaik. Akibatnya, orang-orang di sekitar kita menjadi senang, menyayangi, menghormati, dan memberikan sesuatu yang terbaik juga. Akhirnya, terjadilah jalinan persahabatan, persaudaraan, saling menghargai, dan saling mengasihi. Jalinan kasih ini mampu menembus sekat-sekat agama, etnis, maupun golongan.

Bagaimana kalau ada orang lain yang berbuat salah pada diri kita? Karena kita sudah menjadi sahabat dan saling menyayangi, kesalahan orang tersebut dengan sangat mudah kita maafkan. Memaafkan sejatinya membebaskan diri kita dari beban kebencian. Memaafkan bukanlah hadiah yang kita berikan kepada orang lain, melainkan hadiah untuk diri sendiri.

Agar bisa menjalin persahabatan dengan orang lain, pertama-tama kita mesti bersahabat dengan diri sendiri, mengasihi diri sendiri, dan berdamai dengan diri sendiri. Tanpa semua itu, rasanya tidak mudah untuk harmonis dengan orang lain. Apabila relasi dengan diri sendiri mengalami gangguan, hubungan dengan orang lain pun menjadi terganggu. Pendek kata, syarat utama untuk bisa harmonis dengan orang lain adalah harmonis dengan diri sendiri.

Marilah pergantian Tahun Baru Saka 1935 ini kita jadikan momen untuk memperbaiki relasi dengan diri sendiri. Jika selama ini kita sering menyalahkan diri sendiri, marah, kesal, maupun kecewa dengan diri kita sendiri, marilah kita maafkan diri kita. Mari kita berdamai dan meningkatkan jalinan persahabatan dengan diri kita sendiri. Dengan demikian, kita bisa meningkatkan kualitas relasi dengan orang lain, tanpa membeda-bedakan suku, agama, etnis, maupun golongan. Di tengah-tengah keberagaman bangsa Indonesia kita bisa hidup berdampingan secara damai dan harmonis.

Selamat Hari Raya Nyepi – Tahun Baru Saka 1935.

*Tulisan ini sudah dikirim ke Koran Sindo untuk diterbitkan Selasa, 12 Maret 2013 (Hari Raya Nyepi)...

Senin, 27 Agustus 2012


MARI MERAYAKAN KEMENANGAN DHARMA

Om Suastiastu,
Kadek Dharmaputera adalah seorang mahasiswa semester akhir sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Jakarta. Sudah hampir empat tahun dia telah meninggalkan Pulau Dewata merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang menjadi incarannya sejak SD. Selama SD hingga bangku SMA, Kadek belajar rajin dan tekun demi berhasil meraih impiannya kuliah di perguruan tinggi ternama di ibu kota negara tersebut. Bahkan, sewaktu SMP Kadek pernah menggondol siswa teladan tingkat provinsi. Berbagai prestasi akademis lainnya pernah juga diraih, seperti juara 3 olimpiade matematika tingkat nasional. Di bangku kuliah pun prestasi akademiknya mengagumkan. IP-nya belum pernah di bawah angka 3,5.
Di tengah bergelimang prestasi yang melingkupi hidupnya Kadek masih menyisakan sedikit kegalauan dalam hatinya. Ganjalan dalam hatinya tersebut terutama muncul menjelang Hari Raya Galungan, hari yang selama ini dimaknainya sebagai hari kemenangan, yaitu kemenangan Dharma melawan Adharma. Hingga saat ini Kadek belum begitu jelas memaknai kemenangan tersebut. Beberapa pertanyaan justeru mencuat. Kemenangan Dharma yang mana yang harus dirayakan? Apakah selama ini dia sudah selalu memenangkan Dharma? Apakah dengan kalahnya Adharma berarti sekarang sudah tidak ada lagi Adharma di dunia ini? Terakhir, apakah dia sudah layak merayakan kemenangan Dharma melawan Adharma?  
Umat Hindu yang berbahagia,
Untuk mengatasi kegalauan hati Kadek Dharmaputera, marilah kita melakukan perenungan sejenak untuk melakukan pendalaman terhadap makna Hari Raya Galungan yang sebentar lagi akan kita rayakan.
Kemenangan Dharma atas Adharma dalam perspektif tertentu dapat dimaknai sebagai kemenangan kita mengatasi setiap rintangan dalam bentuk apapun. Kemenangan dalam mengatasi rintangan merupakan sebuah keberhasilan. Oleh karena itu, kemenangan juga berarti kesuksesan. Secara sederhana kesuksesan mengandung makna sebagai pencapaian-pencapaian yang telah berhasil didapat atau diraih. Seseorang dikatakan sukses apabila dia berhasil mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.
Dalam cerita di awal tadi, Kadek Dharmaputera ingin menamatkan kuliah sarjananya dalam waktu empat tahun. Apabila dia benar-benar bisa menuntaskan kuliahnya dalam waktu empat tahun, maka dia dapat dikatakan sudah sukses, yakni telah sukses menamatkan kuliah dalam waktu empat tahun.
Setiap hari Kadek mempunyai keinginan agar di pagi hari tiba di kampus sebelum pukul 07.30 WIB agar tidak terlambat mengikut jadwal kuliah. Karena jalan raya di Jakarta pada pagi hari penuh dengan kendaraan yang melintas, maka kemacetan di pagi hari tidak bisa dihindarkan. Agar bisa sampai di kampus sebelum pukul 07.30, maka Kadek harus berangkat pagi-pagi dari tempat tinggalnya. Jika tiba di kampus sebelum pukul 07.30 pagi, maka dia sudah berhasil mencapai apa yang menjadi keinginannya. Dia sudah sukses sampai di kampus sebelum pukul 07.30 pagi.
Contoh paling sederhana dapat ditunjukkan ketika Kadek ingin menggunting kertas menjadi empat bagian. Kadek mengambil gunting dan mulai memotong kertas menjadi empat bagian. Begitu Kadek berhasil menggunting kertas menjadi empat potongan (bagian), maka dia sudah bisa disebut sukses dalam menggunting kertas menjadi empat bagian.
Sebenarnya sangat banyak kesuksesan yang telah kita raih dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, kita sering kali tidak menyadarinya, apalagi merayakannya. Dalam contoh cerita di atas, Kadek Dharmaputera sebenarnya sudah banyak meraih kemenangan. Berbagai kemenangan telah diraihnya mulai dari SD hingga bangku kuliah. Dari kemenangan-kemenangan kecil, seperti tepat waktu sampai di kampus, hingga kemenangan-kemanangan besar, seperti beberapa prestasi akademis yang telah diraihnya selama ini.
Ada dua hal yang menjadi penyebab mengapa kita tidak menyadari berbagai kesuksesan/kemenangan yang telah kita raih. Pertama, kita lebih fokus pada hal-hal yang tidak berhasil kita lakukan. Dengan lebih berfokus pada kegagalan, kesuksesan/kemenangan yang telah diraih tidak begitu terasa karena tertutupi oleh pikiran-pikiran tentang kegagalan.
Penyebab kedua adalah karena kita sering terlalu tinggi memberikan standar kesuksesan. Kesuksesan seseorang sering dikaitkan dengan kepemilikan harta yang banyak ataupun jabatan yang tinggi. Orang baru dikatakan suskes apabila hartanya berlimpah ataupun berhasil menduduki jabatan prestisius. Pandangan seperti ini menyebabkan kita tidak menyadari bahwa sejatinya kita sudah sukses. Padahal, setiap pencapaian, sekecil apapun, adalah kesuksesan. Akumulasi dari kesuksesan-kesuksesan kecil akan membentuk kesuksesan yang lebih besar.
Melalui perayaan Hari Raya Galungan, kita sesungguhnya dilatih untuk mengakui bahwa kita sejatinya sudah sukses. Berbagai kemenangan sudah kita raih. Setelah mengakui pencapaian kemenangan ini, kita juga dilatih untuk senantiasa bersyukur atas kesuksesan-kesuksesan yang sudah diraih.
Umat Hindu yang berbahagia,
Mengapa kita perlu bersyukur atas kesuksesan ini? Pengakuan kesuksesan dengan cara bersyukur diyakini dapat mengundang lebih banyak lagi bentuk kesuksesan yang lain. Hal ini sesuai dengan salah satu hukum alam (Rta) yang berlaku universal dan netral, yakni Law of Attraction (Hukum Daya Tarik).
Berdasarkan Hukum Daya Tarik (Law of Attraction), apa yang kita pikirkan secara fokus akan mampu menarik hal-hal serupa dari alam semesta. Kalau kita memikirkan kemenangan, maka kita akan menarik kemenangan-kemenangan berikutnya. Terlebih-lebih kita bisa mensyukurinya. Perasaan syukur terhadap kemenangan/kesuksesan yang telah kita raih merupakan bentuk ekspresi bahwa kita sudah meraih kemenangan/sukses. Dengan kata lain, mensyukuri kemenangan/kesuksesan berarti kita memproklamasikan kepada alam semesta dan alam bawah sadar bahwa kita sudah sukses. Hal ini akan menarik hal-hal yang ada dalam alam semesta untuk mendukung kita mendapatkan kesuksesan-kesuksesan/kemenangan yang lain yang mungkin lebih besar dari kesuksesan/kemenangan yang telah diraih sebelumnya.
Melalui Hari Raya Galungan marilah kita mengakui berbagai kemenangan yang sudah kita raih untuk kemudian kita angayubagia (bersyukur) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Mari kita mengucapkan terima kasih kehadapan Hyang Widhi Wasa atas serangkaian kesuksesan/kemenangan yang sudah kita capai.
Umat Hindu yang berbahagia,
Selamat Hari Raya Galungan. Selamat Merayakan Kesuksesan. Selamat Merayakan Kemenangan Dharma. Semoga kita tambah sukses dan semakin sukses di masa-masa yang akan datang.  
Om Shanti Shanti Shanti Om.

Minggu, 22 Januari 2012

Hari Siwaratri: Membebaskan Diri dari Dosa

Om Suastiastu,
Dua orang karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dari dua perusahaan yang berbeda. Keduanya diberhentikan dari kerjanya karena melakukan kesalahan yang sangat fatal bagi perusahaannya masing-masing. Yang satu, sebutlah namanya Made Teruna adalah Manajer Pembelian sebuah hypermarket terkenal di Jakarta. Dia memegang peranan sangat penting karena dari dirinyalah berasal keputusan-keputusan penting tentang pembelian sebuah produk untuk kemudian dipajang di hypermarket tersebut. Sementara itu, Nyoman Teruni adalah Manajer Pemasaran pada sebuah perusahaan distributor alat kesehatan. Tugasnya adalah mengatur strategi pemasaran, sekaligus mendapatkan pelanggan produk yang dijual perusahaannya.

Suatu hari Made Teruna berjumpa dengan kawan lamanya. Rupanya kawan lamanya ini sekarang adalah seorang pemasok buah dan sayur, tetapi bisnisnya ini baru dijalani sekitar enam bulan. Karena tahu Made Teruna adalah orang penting di bagian pembelian, maka dia berusaha mempengaruhi Made Teruna agar mau membeli buah dan sayur dari dirinya. Awalnya Made Teruna berusah mengelak karena selama ini dia sangat selektif dalam memilih pemasok, apalagi pemasok buah dan sayur. Pemasok yang terpilih biasanya adalah pemasok yang telah mempunyai pengalaman lebih dari dua tahun dengan rekam jejak yang sangat baik. Karena kawannya ini terus mendesak, akhirnya dia memutuskan berpindah pemasok. Kawannya ini menjadi pemasok tunggal untuk memasok buah dan sayuran ke hypermarket tersebut, sedangkan pemasok-pemasok lama ditinggalnya begitu saja.

Seiring berjalannya waktu, permasalahan mulai bermunculan. Pasokan sayuran sering terlambat, demikian juga dengan buah-buahan. Di samping sering terlambat, kualitas buah dan sayur juga lama-lama semakin menurun. Pelanggan yang biasanya sangat senang dan antusias berbelanja, lama-kelamaan mulai kesal karena menjumpai kualitas buah dan sayur yang kurang baik, serta sering sudah kehabisan persediaan. Akhirnya, banyak pelanggan yang beralih ke hypermarket lain yang menawarkan buah dan sayur yang lebih segar dan mutunya bagus.

Pimpinan hypermarket tersebut akhirnya bertindak, melakukan investigasi, dan menemukan bahwa pemasok baru yang kinerjanya buruk tersebut adalah kawan dari Made Teruna. Sang pimpinan sangat geram dan secara sepihak memecat Made Teruna. Walaupun secara berulang-ulang Made Teruna telah meminta maaf, tetapi keputusannya untuk mem-PHK sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.

Kejadian yang hampir sama menimpa Nyoman Teruni. Dalam menjalankan tugasnya sebagai Manajer Pemasaran, Nyoman Teruni berkenalan dengan seorang pengusaha muda yang masih mempunyai hubungan famili dengannya. Pengusaha muda ini kebetulan masih lajang dan berwajah ganteng, sementara Nyoman Teruni, walaupun usianya hampir menginjak kepala tiga, tetapi juga belum mendapatkan jodoh. Melihat penampilannya, rupanya Nyoman Teruni mulai jatuh cinta pada pengusaha muda tersebut. Rupanya cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Mereka akhirnya berpacaran.

Beberapa lama kemudian pengusaha muda itu ingin menjadi agen alat kesehatan. Dia merayu pacarnya agar perusahaannya bisa menjadi agen alat kesehatan dan bisa membeli secara kredit. Sebagai pacar, tanpa pikir panjang, Nyoman Teruni setuju menjual alat kesehatan dalam jumlah banyak kepada perusahaan pacarnya itu, dengan jangka waktu pembayaran yang cukup longgar.
Entah kenapa, pengusaha muda itu mulai berpikir tidak baik. Kepercayaan pacarnya disia-siakan. Utang yang jumlahnya besar tersebut tidak dibayarnya ketika jatuh tempo. Nyoman Teruni sudah berusaha sekuat tenaga untuk menagih, tetapi tetap saja tidak dilunasi, malahan pacarnya kabur ke kota lain tanpa pamit. Akibat piutang ini tidak tertagih, cash flow perusahaan menjadi sangat terganggu, dan nyaris kolaps. Pimpinan perusahaan turun tangan mengadakan penyelidikan. Akhirnya, diketahui bahwa pengusaha muda yang kabur dengan utang besar itu adalah pacar Nyoman Teruni. Walaupun Nyoman Teruni sudah memohon maaf, tetapi surat pemecatan tetap keluar.

Umat Hindu yang berbahagia,
Kejadian yang dialami oleh Made Teruna dan Nyoman Teruni adalah sama, yakni sama-sama dipecat dari tempat kerjanya. Yang berbeda adalah bagaimana keduanya menyikapi kejadian yang sama tersebut.
Made Teruna di-PHK gara-gara perbuatan kawan lamanya. Dia menyalahkan dan sangat membenci kawannya tersebut. Dia juga membenci bossnya yang telah berlaku tidak adil terhadap dirinya. Sedikit pun sang boss tidak memberikan kesempatan pada dirinya untuk  membela diri. Rasa benci juga dia arahkan kepada dirinya sendiri. Dia menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa dia dulu begitu percaya pada kawan lamanya itu.

Rasa bersalah pada diri sendiri, rasa benci pada kawannya, dan perasaan benci kepada mantan bossnya terus dipendamnya, serta dibawanya ke mana-mana. Setelah dipecat dari hypermarket tersebut, tidak berselang berapa lama, Made Teruna diterima bekerja disebuah perusahaan jasa keuangan. Akibat dari beban rasa bersalah dan beban kebencian, kinerjanya di perusahaan baru tidak begitu bagus. Dia pun sering mendapat omelan dari atasannya. Dalam keseharian pun Made Teruna sering murung, kurang ceria, dan menjadi pendiam.

Lain halnya dengan Nyoman Teruni. Walaupun dia dipecat, sama sekali dia tidak membenci mantan bossnya itu. Dia mengakui kesalahannya dan sudah bisa memaafkan kesalahan dirinya. Dia segera memutuskan pacarnya, walaupun hanya lewat sms. Sedikitpun dia tidak menaruh perasaan benci kepada mantan pacarnya. Dia sudah bisa memaafkan mantan pacarnya itu.
Kejadian yang telah menimpa dirinya sama sekali tidak menjadi beban. Dengan entengnya dia kembali mendapatkan pekerjaan, bahkan dengan posisi yang sama, yakni sebagai manajer. Kinerjanya terus meningkat, sama sekali tidak tercermin bahwa sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis.
Umat Hindu yang Bebahagia,

Apa hubungan kisah di atas dengan pelaksanaan Siwaratri?
Melalui perayaan Hari Siwaratri umat Hindu diajarkan dan dilatih untuk membebaskan diri dari dosa. Apa itu dosa? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat dua pengertian dosa, yakni (i) perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama; dan (ii) perbuatan salah. Berdasarkan kedua pengertian tersebut, saya mengartikan dosa sebagai kesalahan atau rasa bersalah.

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak luput dari kesalahan, baik kesalahan yang diperbuat orang lain kepada kita, maupun kesalahan yang kita perbuat sendiri. Kesalahan yang diperbuat orang lain sering kali membuat diri kita menjadi sakit hati dan menyebabkan kita membenci orang itu. Rasa benci itu akan terus membebani kita. Cara terbaik untuk membebaskan diri dari kebencian kepada orang lain akibat kesalahan yang dilakukannya adalah dengan memaafkan. Dengan memaafkan berarti kita membebaskan diri kita dari beban kebencian. Dengan memaafkan kita melepaskan kesalahan orang dari hati kita. Sepanjang kita belum memaafkan, maka orang itu akan menempati relung hati kita dengan gratis. Setelah berhasil memaafkan, maka hati menjadi plong, tanpa beban.

Kalau dikaitkan dengan kisah di atas, maka tindakan Nyoman Teruni yang sudah berhasil memaafkan kesalahan mantan pacarnya adalah tindakan untuk membebaskan dirinya dari beban kebencian. Walaupun sempat kesal atas perbuatan mantan pacarnya, karena dia sudah memaafkan, maka dengan sendirinya dia sudah melepaskan kesalahan mantan pacarnya itu. Perbuatan mantan pacarnya itu tidak lagi menjadi beban yang menggelayuti perjalanan hidupnya ke depan.

Akibat yang berlawanan diperoleh Made Teruna. Dia tidak bisa membebaskan diri dari rasa benci kepada kawannya ataupun kepada mantan bossnya. Rasa benci itu dia pendam terus, sehingga malahan menjadi beban yang terus dipikulnya ke mana-mana. Sama sekali dia tidak berusaha memaafkan, bahkan terus membencinya. Hal ini justeru berdampak negatif pada dirinya.

Bagaimana kalau kita yang berbuat salah kepada orang lain. Apakah cukup dengan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan? Ternyata tidak. Meminta maaf saja tidak cukup. Walaupun orang lain sudah memaafkan kesalahan kita, sepanjang kita sendiri belum memaafkan diri kita, maka rasa bersalah itu akan tetap bercokol di hati dan menggelayuti perjalanan kita dalam menapaki masa depan. Perjalanan kita ke depan akan terseok-seok oleh beban rasa bersalah itu. Untuk membebaskannya, maka kita perlu memaafkan diri sendiri.

Untuk bisa memaafkan diri sendiri diperlukan proses. Pertama-tama kita perlu mengakui bahwa kesalahan itu sudah terjadi dan telah menjadi masa lalu kita. Sesuatu yang telah terjadi tidak bisa kita perbaiki. Kita tidak bisa mengubah masa lalu kita. Yang dapat kita ubah adalah masa depan kita. Jadikan kesalahan yang sudah terjadi sebagai pelajaran berharga agar di masa yang akan datang kesalahan tersebut tidak terulang lagi. Sepanjang kita belum bisa mengakui dan menerima terjadinya kesalahan tersebut, maka sangat sulit bagi kita untuk melepaskannya. Setelah kita mengakui dan bisa menerima terjadinya kesalahan tersebut, proses berikutnya adalah memaafkan.

Memaafkan diri sendiri memang agak sulit, tetapi bukan berarti tidak bisa. Untuk mempercepat proses memaafkan diri sendiri dapat dibantu dengan dua hal. Pertama, dengan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Dikabulkannya permintaan maaf kita dapat mempercepat proses memaafkan diri sendiri. Tetapi hal itu tidak bersifat mutlak. Kalau pun orang tersebut sudah memaafkan, tetapi kita sendiri belum memaafkan, maka rasa bersalah tersebut masih tetap bercokol dalam hati kita. Demikian juga sebaliknya. Walaupun orang tersebut tidak mau memaafkan, tetapi kita sendiri sudah mau memaafkan diri sendiri, maka kita sudah bisa melepaskan rasa bersalah itu dari hati kita.

Hal kedua yang dapat membantu proses memaafkan diri sendiri adalah dengan meminta maaf (ampun) kepada Hyang Widhi. Dengan keyakinan bahwa Tuhan Maha Pengampun, maka permohonan maaf kita kepada Hyang Widhi pasti dikabulkan. Perasaan dan keyakinan bahwa permohonan maaf kita dikabulkan akan dapat mempercepat proses memaafkan diri sendiri.

Umat Hindu yang Bebahagia,
Melalui perayaan Hari Siwaratri, marilah kita membebaskan diri dari dosa atau kesalahan, baik itu kesalahan (dosa) orang lain terhadap kita, maupun kesalahan (dosa) diri sendiri terhadap orang lain. Caranya adalah dengan memaafkan. Dengan memaafkan berarti kita membebaskan diri dari kesalahan. Dengan memaafkan berarti kita melepaskan kesalahan-kesalahan dari diri kita.

Dengan jagra selama 36 jam kita diajarkan untuk mengidentifikasi kesalahan-kesalahan yang sudah terjadi, baik itu kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, maupun kesalahan kita kepada orang lain. Untuk mengidentifikasinya dapat dilakukan dengan menuliskannya dalam kertas. Setelah kita tulis, maka kita akui kejadiannya dan selanjutnya kita maafkan.

Memaafkan sesungguhnya bukan hadiah yang kita berikan kepada orang yang kita maafkan, tetapi merupakan hadiah yang kita berikan kepada diri sendiri.

Memaafkan dapat membebaskan diri dari kesalahan (dosa). Mari kita maafkan orang-orang yang telah berbuat salah kepada kita, sehingga kita menjadi terbebas dari beban kesalahan itu. Mari kita maafkan diri kita sendiri atas kesalahan yang sudah kita perbuat kepada orang lain. Dengan memaafkan diri sendiri, kita dapat terbebas dari rasa bersalah (dosa).

Dengan terbebas dari rasa bersalah, dengan terlepas dari rasa bersalah, sesungguhnya kita telah mencapai Moksa karena kata moksa berarti bebas atau lepas.

Selamat menjalankan Brata Siwaratri. Selamat membebaskan diri dari dosa (kesalahan). Selamat mencapai moksa.
Om Shanti Shanti Shanti Om

Jumat, 30 Desember 2011

HUKUM KARMA PHALA: SEBUAH REFLEKSI AKHIR TAHUN

Om Suastiastu,

Walau siang itu sang mentari sedang semangat-semangatnya memancarkan sinarnya yang panas, tetapi hal itu tidak menyurutkan langkah Budi untuk menjalani runitas kesehariannya. Malahan dia tambah semangat untuk menjajakan barang dagangannya di sebuah perempatan jalan di bilangan Jakarta Selatan. Kurang lebih sudah dua puluh tahun dia melakoni hidup sebagai pedagang asongan di Jakarta.

Seorang lelaki membuka pelan-pelan kaca mobilnya seraya melambaikan tangan memanggil Budi. Budi segera menghampiri mobil mewah itu. Lelaki itu minta sebuah majalah terkenal yang senantiasa mengupas masalah ekonomi dan bisnis. Sambil menyodorkan majalah yang diminta, Budi menatap wajah lelaki yang ternyata tidak asing bagi dirinya. Belum sempat Budi membuka bibir, lelaki itu sudah menyapa duluan. “Maaf, Kamu Budi ya? Main ke rumah ya. Ini uang pembelian majalah dan sekalian kartu namaku.”

Mobil Mercy keluaran terbaru itu buru-buru melaju karena sudah diklakson beberapa kali oleh mobil di belakangnya. Lampu pengatur lalu lintas sudah berwarna hijau. Budi pun bergegas ke pinggir jalan. Dengan antusias dibacanya kartu nama yang diberikan lelaki itu. Tertulis nama “I Wayan Dharma Kesuma” dan dibawahnya “Direktur Keuangan”. Dalam kartu itu juga tercantum nama perusahaan, alamat kantor, dan nomor telepon.

Budi tertegun sejenak. Pikirannya melayang ke lebih dari dua puluh tahun silam. Saat itu dia masih SMA dan sekelas dengan Dharma selama dua tahun. Dia pun pernah duduk sebangku sewaktu kelas 3. Dia ingat betul bahwa ranking Dharma masih di bawahnya. Budi termasuk siswa pintar di sekolah. Rankingnya dari kelas 1 hingga kelas 3 selalu dalam kisaran 5 besar, sedangkan Dharma tidak pernah mencapai 5 besar.

Dharma itu orangnya santai dalam belajar, tetapi bergaulnya pintar. Dharma gampang bergaul, sehingga di kalangan teman-teman SMA-nya, Dharma lebih populer daripada Budi. Budi tidak habis pikir. Orang yang prestasi akademiknya sewaktu sama-sama di SMA lebih rendah, tetapi sekarang sudah mengendarai mobil mewah keluaran terbaru dan mempunyai jabatan tinggi di kantornya. Sementara dirinya masih menjalani profesi sebagai pedagang asongan, menjajakan koran dan majalah di perempatan jalan. Betapa kontras kehidupan mereka. Bagaikan bumi dan langit.

Umat Hindu yang berbahagia, Setelah menyimak cerita singkat di atas, komentar yang muncul mungkin akan beragam. Ada yang berpendapat bahwa kehidupan Budi seperti itu sudah merupakan kehendak Hyang Widhi. Ada juga yang berpendapat bahwa kehidupan Budi seperti itu adalah karena perilaku leluhurnya di masa lampau yang kurang baik, sehingga saat ini Budilah yang menanggung akibatnya. Bahkan, mungkin ada juga yang mempertanyakan bahwa Hyang Widhi pilih kasih dalam memberikan waranugeraha kepada Dharma dan Budi. Apakah benar Hyang Widhi lebih sayang kepada Dharma daripada kepada Budi?

Umat Hindu yang berbahagia,
Hyang Widhi menciptakan dunia beserta isinya lengkap dengan hukum-hukum alamnya. Hukum alam (Rta) ini bersifat universal dan netral. Universal artinya berlaku umum dan netral bermakna tidak memihak. Jadi, hukum alam ini berlaku untuk siapa saja, untuk seluruh alam beserta isinya, serta tidak memihak. Dengan hukum alam inilah Hyang Widhi mengatur dunia beserta isinya.

Hukum Karma Phala merupakan salah satu hukum alam (Rta). Kata “karma” berarti perbuatan dan kata “phala” berarti akibat. Jadi Hukum Karma Phala merupakan Hukum Sebab Akibat. Tidak ada satu perbuatan (sebab) yang tidak ada hasilnya (akibat). Sebaliknya, tidak ada akibat tanpa adanya suatu sebab.

Karena merupakan hukum sebab akibat, maka Hukum Karma Phala berkorelasi erat dengan rentang waktu, yakni masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Hal-hal yang sudah terjadi merupakan masa lalu. Hal-hal yang belum (akan) terjadi adalah masa depan (masa yang akan datang). Satu bulan yang lalu adalah masa lalu, satu jam yang lalu juga adalah masa lalu, bahkan satu detik yang lalu juga adalah masa lalu. Demikian juga dengan masa yang akan datang. Satu menit, satu jam, satu bulan, dan juga satu tahun yang akan datang merupakan masa depan. Perbuatan-perbuatan (sebab) di masa lalu akan memberikan dampak (hasil/akibat) pada waktu sekarang.

Menjadi apa kita sekarang dan di mana kita sekarang adalah hasil/akibat dari pilihan-pilihan kita di masa lalu, keputusan-keputusan kita di masa lalu, dan tindakan-tindakan kita di masa lalu. Saat ini (waktu membuat tulisan ini) saya berada di kantor adalah akibat dari pilihan-pilihan saya tadi pagi di rumah. Saya bisa memilih pergi ke kantor, pergi ke kampus, pergi ke rumah famili, ataukah berdiam diri di rumah. Keputusan saya tadi pagi adalah pergi ke kantor dan tindakan saya adalah berangkat ke kantor. Sebagai akibatnya, saat ini saya berada di kantor.

Kalau dikaitkan dengan cerita singkat di atas, kenapa Budi saat ini berada di Jakarta dan menjadi pedagang asongan adalah akibat dari adanya pilihan-pilihan beberapa tahun sebelumnya. Dua puluh tahun lalu (menurut cerita di atas) Budi mempunyai pilihan-pilihan, yakni tetap tinggal di Bali ataukah berangkat mengadu nasib ke Jakarta. Akhirnya Budi memilih ke Jakarta dan berangkatlah Budi ke Jakarta waktu itu. Dari berbagai macam pilihan pekerjaan yang ada, budi memilih untuk berjualan majalah dan koran di perempatan jalan. Akibatnya, saat ini Budi masih menjalani profesi tersebut.

Lain halnya dengan Dharma. Setamat SMA dia memutuskan melanjutkan kuliah ke Jogjakarta. Jika sewaktu SMA dia jarang belajar, maka sewaktu kuliah dia termasuk mahasiswa yang rajin belajar, tetapi tetap tidak melupakan pergaulan. Semangat hidupnya tinggi. Kawan-kawannya banyak. Dalam waktu kurang dari empat tahun dia berhasil menyelesaikan pendidikan S1 di universitas negeri terkenal di kota itu. Indeks Prestasi Kumulatif-nya pun nyaris mencapai angka 4.

Dari berbagai pilihan yang ada setamat kuliah, Dharma memutuskan untuk merantau ke Jakarta dan bergabung dengan perusahaan konstruksi ternama di Jakarta. Dharma orangnya jujur, berntegritas tinggi, kerjanya rajin, berperilaku menyenangkan, bersemangat, cepat dalam mengambil keputusan, serta berwawasan luas. Bermodalkan semua itu karier Dharma di perusahaan itu menanjak pesat hingga akhirnya setahun yang lalu dia terpilih menjadi Direktur Keuangan.

Pencapaian Dharma menduduki posisi Direktur Keuangan dengan gaji tinggi dan fasilitas menggiurkan merupakan contoh implementasi dari Hukum Karmaphala. Inilah yang disebut dengan Sancita Karmaphala. Hasil yang dinikmati sekarang merupakan akibat dari perbuatan di masa lalu. Jabatan Direktur Keuangan yang diraih Dharma merupakan akibat/hasil dari pilihan-pilihan, keputusan-keputusan, dan tindakan-tindakan Dharma di masa lalu. Kalau saja dia memutuskan kembali ke Bali ketika tamat kuliah, maka posisi Direktur Keuangan perusahaan konstruksi ternama di Jakarta tidak akan diraihnya.

Umat Hindu yang berbahagia,
Kalau kita sudah mengakui dan meyakini bahwa menjadi apa kita sekarang dan di mana kita sekarang, merupakan hasil/akibat dari pilihan-pilihan, keputusan-keputusan, dan tindakan-tindakan kita di masa lalu (Sancita Karmaphala), maka menjadi apa kita di masa yang akan datang, di mana kita di masa yang akan datang, adalah ditentukan oleh pilihan-pilihan kita saat ini, keputusan-keputusan kita saat ini, dan tindakan-tindakan kita mulai saat ini. Inilah yang disebut dengan Kryamana Karmaphala. Kondisi kehidupan yang akan dijalani di masa depan merupakan hasil dari pilihan, keputusan, dan tindakan kita saat ini.

Sementara itu, Prarabda Karmaphala merupakan hukum sebab akibat yang penyebabnya di masa sekarang dan berakibat langsung di masa sekarang juga. Contoh sederhananya adalah saat kita mencubit lengan (sebab), maka rasa sakitnya (akibat) dapat dirasakan secara langsung pada saat itu juga.

Umat Hindu yang berbahagia,
Sebagai refleksi akhir tahun 2011 mari kita merenung sejenak. Apakah selama ini kita sudah memahami, mengakui, dan meyakini keberadaan dan bekerjanya Hukum Karmaphala yang merupakan salah satu hukum alam (Rta) dari Hyang Widhi? Masihkah kita menyalahkan orang lain, keluarga, ataupun lingkungan atas kondisi kita saat ini? Atau malah berlindung di balik dalih bahwa semua ini sudah ditentukan oleh Hyang Widhi? Padahal Hyang Widhi sama sekali tidak memihak. Hyang Widhi mengatur alam semesta beserta isinya dengan hukum alam dan salah satunya adalah Hukum Karmaphala.

Mari kita rancang sendiri kehidupan masa depan kita. Kita adalah arsitek dari kehidupan kita, bukan orang lain. Kita diberikan kebebasan 100% untuk memilih, memutuskan, dan bertindak. Menjadi apa, di mana , dan seperti apa diri kita di tahun 2012 adalah hasil dari pilihan, keputusan, dan tindakan kita saat ini.

Pada penghujung tahun 2011 ini marilah kita akui dan sadari bahwa keberadaan kita saat ini adalah hasil dari pilihan, keputusan, dan tindakan kita di masa lalu (Sancita Karmaphala). Karena semua ditentukan oleh kita sendiri, maka semuanya kita terima dengan ikhlas dan jadikan bahan renungan, bahan evaluasi diri untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, lebih hebat, lebih sukses, dan lebih bahagia di tahun 2012.

Selamat menyongsong kehidupan baru di tahun 2012.
Om Shanti Shanti Shanti Om