Om Suastiastu,
Umat Hindu sangat bersyukur karena dalam ajaran Hindu banyak terdapat hari suci keagamaan. Perayaan hari-hari suci keagamaan merupakan sarana untuk menghaturkan terima kasih dan angayubagia (bersyukur) kehadapan Hyang Widhi Wasa. Salah satu hari suci tersebut adalah Hari Saraswati yang datangnya setiap enam bulan sekali. Karena sebentar lagi kita akan merayakannya, timbul pertanyaan dalam hati. Sudahkah kita angayubagia pada setiap Hari Sarawati tiba? Angayubagia atas apa?
Perayaan Hari Saraswati merupakan salah satu bentuk rasa syukur kita kehadapan Hyang Widhi karena sudah berhasil mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, baik yang didapatkan melalui pendidikan formal, maupun lewat jalur non-formal. Selama ini rasa syukur itu kita wujudkan melalui persembahyangan Saraswati bersama-sama di Pura. Di samping itu, kita juga mempersembahkan banten Saraswati kepada Sang Hyang Aji Saraswati, khususnya di tempat kita menyimpan buku-buku. Apakah ini sudah cukup?
Dengan mengucapkan angayubagia atas ilmu pengetahuan yang kita dapatkan, berarti kita mengakui bahwa kita sudah memperoleh ilmu pengetahuan. Kita sudah memiliki ilmu pengetahuan tertentu. Rasa syukur (angayubagia) tersebut akan membentuk suasana hati kita menjadi suasana hati yang penuh berkelimpahan, khususnya keberlimpahan ilmu pengetahuan. Suasana hati yang penuh keberlimpahan ini, sesuai dengan Hukum Punarbhawa (Hukum Tarik Menarik atau The Law of Attraction) akan menarik ilmu pengetahuan serupa. Semakin kita bersyukur pada pengetahuan yang kita miliki, kita akan semakin tertarik untuk terus mempelajari hal-hal (pengetahuan) untuk memperdalam ataupun memperkaya khazanah pengetahuan kita di bidang itu.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, sejatinya kita hanya perlu mensyukuri apa yang sudah kita miliki. Kita tidak perlu lagi memohon agar kita diberikan waranugraha berupa ilmu pengetahuan. Khusus pada Hari Saraswati, kita sering masih memohon waranugraha berupa ilmu pengetahuan. Sepanjang kita masih memohon, apa pun itu, hal itu menandakan bahwa kita masih kekurangan dan tidak menghargai apa yang sudah kita miliki selama ini. Lebih tragisnya lagi, kita memohon ilmu pengetahuan, tetapi kita tidak bisa secara spesifik menyebutkan jenis ilmu pengetahuan yang kita inginkan. Sering kita memberikan justifikasi bahwa Tuhan pasti sudah tahu atau Tuhan pasti lebih tahu apa yang kita maksud.
Dalam rangka bersyukur, kita juga diwajibkan untuk mengamalkan serta berbagi kepada orang lain atas ilmu pengetahuan yang kita miliki. Ilmu pengetahuan, apa pun itu, akan sia-sia, bahkan akan sirna, jika tidak diamalkan. Kita harus bisa mempraktikkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh nyata dapat saya sampaikan tentang diri saya pribadi. Sebagai seorang akuntan yang sudah memliki sertifikat akuntan publik, sudah bertahun-tahun saya tidak lagi mempraktikkan ilmu akuntansi ataupun ilmu auditing saya. Akibatnya, kalau ada yang menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan bidang ini, rasanya saya tidak bisa menjawabnya secara cepat. Saya masih memerlukan membaca buku-buku di bidang itu lagi. Apalagi jika diminta untuk langsung melakukan audit atas laporan keuangan. Sudah barang tentu saya akan ragu-ragu untuk menerima penugasan itu. Saya masih perlu waktu untuk belajar lagi.
Selain mempraktikkan langsung, sarana yang paling ampuh untuk memelihara dan memperdalam suatu pengetahuan adalah dengan berbagi kepada orang lain. Berbagi pengetahuan kepada orang lain dapat dilakukan dengan banyak cara.
Mengajar di kelas adalah salah satu cara yang efektif untuk memperdalam sesuatu pengetahuan. Supaya ilmu akuntansi masih tetap terpelihara dengan baik, maka sebaiknya kita meluangkan diri untuk mengajar akuntansi di kelas. Dengan mengajar di kelas, mau tidak mau kita harus mempersiapkan diri sebelum hadir di kelas. Kita akan membaca berbagai literatur yang berhubungan dengan ilmu akuntansi tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sewaktu kita mengajar, juga kan memperkaya pengetahuan kita di bidang itu.
Kalau kita ingin memperdalam pengetahuan kita di bidang agama Hindu, maka sebaiknya kita mulai mengajarkannya kepada anak di rumah. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari anak-anak kita, akan memacu kita untuk terus dan tambah rajin membaca buku-buku yang berhubungan dengan ajaran Hindu. Kalau memungkinkan, ada baiknya juga kita menawarkan diri untuk bisa sesekali mengajar di sekolah-sekolah agama Hindu yang untuk di luar Bali diadakan tiap hari minggu di Pura. Dengan menjadi relawan sebagai guru agama di Pura, kita akan tergerak dan termotivasi untuk melahap buku-buku yang berkaitan dengan ajaran Hindu. Kita akan belajar terus agar selalu siap jika sewaktu-waktu ada pertanyaan dari siswa. Dengan mengajar, kita menjadi belajar.
Selain mengajar, sarana ampuh lainnya untuk memelihara ilmu adalah dengan menulis. Sebelum ide dan pemikiran-pemikiran yang kita miliki kita tuangkan dalam bentuk tulisan, sudah barang tentu kita akan banyak membaca dan mempelajari buku-buku maupun tulisan-tulisan yang berhubungan dengan topik yang akan kita tulis. Kita akan membahasnya terlebih dahulu dalam pikiran (hati), sebelum ide itu terwujud dalam bentuk susunan kalimat-kalimat. Dengan menulis artikel di bidang agama Hindu, kita sejatinya sedang belajar memperdalam ajaran Hindu.
Sarana lain untuk memelihara dan mengasah pengetahuan khususnya di bidang keagamaan adalah dengan belajar memberikan Dharma Wacana. Mulailah dari kelompok-kelompok kecil terlebih dahulu. Mulai dari kelompok arisan keluarga, rapat di tempek (khusus di luar Bali), rapat banjar, dan seterusnya. Selama ini masih terdapat paradigma yang kurang pas dalam hal Dharma Wacana. Banyak orang yang menghindar kalau diminta untuk memberikan Dharma Wacana. Alasannya, di samping belum menguasai ilmu agama, juga belum layak karena perbuatan sehari-hari belum mencerminkan orang yang ahli agama. Paradigma ini sudah semestinya diubah. Dengan memberikan Dharma Wacana, kita menjadi termotivasi untuk belajar lebih banyak lagi perihal ajaran agama. Dengan memberikan Dharma Wacana, hal ini akan memotivasi diri kita untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan ajaran Hindu. Dengan menjadi narasumber, kita akan tergerak untuk terus berbenah diri dan menjalankan praktik-praktik keagamaan dengan baik dan benar. Jangan menunggu kita telah melaksanakan terlebih dahulu, baru kita berbagi pengetahuan dengan orang lain. Dengan memberikan Dharma wacana, kita menjadi belajar bagaiaman menjadi umat Hindu yang baik.
Derasnya arus globalisasi saat ini dan di masa depan, menuntut perubahan-perubahan dalam pembinaan agama Hindu ke depan. Diperlukan lebih banyak orang lagi yang mau berbagi pengetahuan, khususnya pengetahuan di bidang agama Hindu. Ide dan pemikiran-pemikiran prospektif sangat dibutuhkan dalam pembinaan di masa mendatang. Oleh karena itu, melalui perayaan hari Saraswati kali ini, mari kita terus belajar, belajar berkesinambungan tanpa henti, dengan cara berbagi, berbagi ilmu pengetahuan.
Melalui tulisan ini, kami mengundang Anda untuk berbagi pengetahuan, khususnya pengetahuan di bidang Agama Hindu. Mulailah menuangkan ide dan pemikiran Anda dalam bentuk tulisan untuk kemudian disebarluaskan kepada umat Hindu lainnya.
Akhirnya, Selamat Merayakan Hari Saraswati. Selamat Belajar Berkesinambungan, Tanpa Henti.
Om Shanti Shanti Shanti Om.
Jumat, 31 Juli 2009
Jumat, 17 Juli 2009
Catur Guru
Om Suastiastu,
Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal ajaran Catur Guru. Ajaran yang kita dapatkan selama ini selalu mengupas tentang bagaimana dan mengapa seseorang itu wajib menghormati keempat guru yang ada. Hampir tidak pernah dibahas bagaimana seharusnya seorang guru mengajarkan pengetahuan atau bagaimana seorang guru seharusnya membimbing anak didiknya.
Sesuai dengan arti katanya, Catur Guru merupakan empat guru yang harus kita hormati. Keempat guru tersebut adalah: (i) Guru Swadhyaya; (ii) Guru Rupaka; (iii) Guru Pengajian, dan (iv) Guru Wisesa.
Guru Swadhyaya adalah Sang Hynag Widhi, Sang Pencipta dunia beserta segala isinya, termasuk manusia. Kita wajib selalu hormat kepada Sang Hyang Widhi karena tanpa Beliau kita tidak mungkin ada, bahkan dunia ini pun tidak bakalan ada. Di samping hormat, kita juga diajarkan untuk senantiasa memuja kebesaran-Nya.
Kita juga diajarkan untuk selalu hormat kepada kedua orang tua kita. Kedua orang inilah (ayah dan ibu) yang melahirkan, membesarkan, dan medidik kita hingga menjadi seperti sekarang ini. Kedua orang tua kita yang disebut Guru Rupaka inilah yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan bagi kita. Sudah sepatutnya kita senantiasa hormat kepada mereka.
Memasuki usia sekolah, kita mulai berkenalan dengan guru-guru di sekolah. Mereka inilah yang mengajarkan berbagai pengetahuan kepada kita. Mulai dari belajar membaca, menulis, berhitung, pengetahuan sosial, pengetahuan alam, bahkan juga pengetahuan agama. Tanpa keberadaan guru-guru di sekolah yang kita juluki Guru Pengajian, rasanya tidak mungkin kita saat ini berada pada posisi masing-masing. Oleh karena itu, kita patut hormat dan respek kepada mereka.
Kita hidup dalam satu wadah negara kesatuan. Agar kehidupan suatu negara bisa berjalan aman dan teratur, maka diperlukan adanya pemerintahan. Pemerintah inilah dalam ajaran Hindu disebut Guru Wisesa. Sebagai anggota masyarakat, sudah sewajarnya kita patuh dan hormat kepada Guru Wisesa ini.
Semua uraian di atas masih dalam persepektif bagaiamana seharusnya kita bersikap terhadap para guru yang dikenal dalam ajaran Hindu. Selanjutnya, marilah kita bahas dari perspektif guru itu sendiri. Bagaiamana seharusnya perbuatan kita kalau seandainya kita yang menjadi guru?
Pertama, kalau kita menjadi Guru Rupaka. Sebagai orang tua, kita sejatinya adalah guru bagi anak-anak kita. Sebagai guru, orang yang patut digugu dan ditiru, orang tua seharusnya menjadi panutan bagi anak-anaknya. Orang tua harus bisa menjadi role model dalam kehidupan sehari-hari. Setiap perbuatan yang dilakukan dihadapan anak-anaknya akan menjadi contoh bagi mereka.
Pada saat kita menyuruh anak agar tidak nonton TV, apakah kita sudah bisa mengendalikan diri untuk juga tidak nonton TV? Kita menyuruh anak untuk rajin membaca buku, sementara kita sendiri jarang, bahkan tidak pernah terlihat membaca buku di hadapan anak-anak. Bagaiamana kita bisa mengharapkan anak-anak bisa dengan serta merta menjadi rajin membaca buku?
Yang dibutuhkan anak-anak dari orang tuanya adalah panutan, bukan sekadar ucapan.Mereka membutuhkan figur yang bisa dijadikan suri tauladan bagi kehidupannya sehari-hari. Kalau kita mengharapkan anak-anak mau mempelajari ajaran-ajaran Hindu di rumah, maka sebagai orang tua, kita juga harus memberi contoh dengan ikut mempelajari buku-buku keagamaan. Dalam urusan pendidikan agama kita tidak boleh hanya menyerahkan kepada guru di sekolah atau pun guru-guru di sekolah agama (minggu) di Pura. Kita sebenarnya bisa berperan sebagai guru agama bagi mereka.
Kedua, kalau kita sebagai guru di sekolah. Peran guru di sekolah ataupun dosen di kampus sangatlah besar dalam mendidik putera-puteri bangsa Indonesia. Di tangan para guru yang disebut Guru Pengajian inilah nasib bangsa Indonesia ke depan ditumpukan.
Semua anak didik sejatinya mempunyai potensi diri yang luar biasa dahsyat, tanpa batas. Batas-batas yang ada dalam diri mereka sebenarnya diciptakan sendiri oleh mereka melalui system keyakinan yang dianutnya sejak kecil. Guru di sekolah diharapkan jangan menambah batas-batas ini lagi, melainkan membantu untuk mengikis batas-batas tersebut.
Seorang guru harus bisa merangsang tumbuhnya kreativitas anak didik. Di samping itu, guru juga harus bisa mengembangkan kreativitas yang sudah dimiliki anak didik. Sikap guru haruslah ramah. Sudah tidak jamannya lagi, seorang guru ditakuti muridnya. Sebaliknya, guru harus bisa menjadi sosok yang dirindukan murid. Sosok yang dicintai muridnya.
Untuk bisa menjadi pribadi yang demikian, seorang guru pertama-tama harus mencintai pekerjaannya sebagai guru. Dengan demikian, dia bekerja secara totalitas, penuh pengabdian, bahkan bisa mencintai sepenuhnya anak didik sebagaimana dia mencintai anak kandungnya di rumah. Seorang guru hendaknya senantiasa bisa mendoakan keberhasilan murud-muridnya.
Terakhir, pemerintah sebagai Guru Wisesa sebaiknya adalah orang yang benar-benar bisa memerintah rakyatnya dengan baik. Pemerintah seyogyanya dapat menjadi inspirator, serta bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya. Segala gerak-gerik harus mencerminkan sikap yang bisa digugu dan ditiru masyarakatnya. Pemerintah juga harus bisa menjadi sosok yang dicintai dan sekaligus mencintai rakyatnya.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal ajaran Catur Guru. Ajaran yang kita dapatkan selama ini selalu mengupas tentang bagaimana dan mengapa seseorang itu wajib menghormati keempat guru yang ada. Hampir tidak pernah dibahas bagaimana seharusnya seorang guru mengajarkan pengetahuan atau bagaimana seorang guru seharusnya membimbing anak didiknya.
Sesuai dengan arti katanya, Catur Guru merupakan empat guru yang harus kita hormati. Keempat guru tersebut adalah: (i) Guru Swadhyaya; (ii) Guru Rupaka; (iii) Guru Pengajian, dan (iv) Guru Wisesa.
Guru Swadhyaya adalah Sang Hynag Widhi, Sang Pencipta dunia beserta segala isinya, termasuk manusia. Kita wajib selalu hormat kepada Sang Hyang Widhi karena tanpa Beliau kita tidak mungkin ada, bahkan dunia ini pun tidak bakalan ada. Di samping hormat, kita juga diajarkan untuk senantiasa memuja kebesaran-Nya.
Kita juga diajarkan untuk selalu hormat kepada kedua orang tua kita. Kedua orang inilah (ayah dan ibu) yang melahirkan, membesarkan, dan medidik kita hingga menjadi seperti sekarang ini. Kedua orang tua kita yang disebut Guru Rupaka inilah yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan bagi kita. Sudah sepatutnya kita senantiasa hormat kepada mereka.
Memasuki usia sekolah, kita mulai berkenalan dengan guru-guru di sekolah. Mereka inilah yang mengajarkan berbagai pengetahuan kepada kita. Mulai dari belajar membaca, menulis, berhitung, pengetahuan sosial, pengetahuan alam, bahkan juga pengetahuan agama. Tanpa keberadaan guru-guru di sekolah yang kita juluki Guru Pengajian, rasanya tidak mungkin kita saat ini berada pada posisi masing-masing. Oleh karena itu, kita patut hormat dan respek kepada mereka.
Kita hidup dalam satu wadah negara kesatuan. Agar kehidupan suatu negara bisa berjalan aman dan teratur, maka diperlukan adanya pemerintahan. Pemerintah inilah dalam ajaran Hindu disebut Guru Wisesa. Sebagai anggota masyarakat, sudah sewajarnya kita patuh dan hormat kepada Guru Wisesa ini.
Semua uraian di atas masih dalam persepektif bagaiamana seharusnya kita bersikap terhadap para guru yang dikenal dalam ajaran Hindu. Selanjutnya, marilah kita bahas dari perspektif guru itu sendiri. Bagaiamana seharusnya perbuatan kita kalau seandainya kita yang menjadi guru?
Pertama, kalau kita menjadi Guru Rupaka. Sebagai orang tua, kita sejatinya adalah guru bagi anak-anak kita. Sebagai guru, orang yang patut digugu dan ditiru, orang tua seharusnya menjadi panutan bagi anak-anaknya. Orang tua harus bisa menjadi role model dalam kehidupan sehari-hari. Setiap perbuatan yang dilakukan dihadapan anak-anaknya akan menjadi contoh bagi mereka.
Pada saat kita menyuruh anak agar tidak nonton TV, apakah kita sudah bisa mengendalikan diri untuk juga tidak nonton TV? Kita menyuruh anak untuk rajin membaca buku, sementara kita sendiri jarang, bahkan tidak pernah terlihat membaca buku di hadapan anak-anak. Bagaiamana kita bisa mengharapkan anak-anak bisa dengan serta merta menjadi rajin membaca buku?
Yang dibutuhkan anak-anak dari orang tuanya adalah panutan, bukan sekadar ucapan.Mereka membutuhkan figur yang bisa dijadikan suri tauladan bagi kehidupannya sehari-hari. Kalau kita mengharapkan anak-anak mau mempelajari ajaran-ajaran Hindu di rumah, maka sebagai orang tua, kita juga harus memberi contoh dengan ikut mempelajari buku-buku keagamaan. Dalam urusan pendidikan agama kita tidak boleh hanya menyerahkan kepada guru di sekolah atau pun guru-guru di sekolah agama (minggu) di Pura. Kita sebenarnya bisa berperan sebagai guru agama bagi mereka.
Kedua, kalau kita sebagai guru di sekolah. Peran guru di sekolah ataupun dosen di kampus sangatlah besar dalam mendidik putera-puteri bangsa Indonesia. Di tangan para guru yang disebut Guru Pengajian inilah nasib bangsa Indonesia ke depan ditumpukan.
Semua anak didik sejatinya mempunyai potensi diri yang luar biasa dahsyat, tanpa batas. Batas-batas yang ada dalam diri mereka sebenarnya diciptakan sendiri oleh mereka melalui system keyakinan yang dianutnya sejak kecil. Guru di sekolah diharapkan jangan menambah batas-batas ini lagi, melainkan membantu untuk mengikis batas-batas tersebut.
Seorang guru harus bisa merangsang tumbuhnya kreativitas anak didik. Di samping itu, guru juga harus bisa mengembangkan kreativitas yang sudah dimiliki anak didik. Sikap guru haruslah ramah. Sudah tidak jamannya lagi, seorang guru ditakuti muridnya. Sebaliknya, guru harus bisa menjadi sosok yang dirindukan murid. Sosok yang dicintai muridnya.
Untuk bisa menjadi pribadi yang demikian, seorang guru pertama-tama harus mencintai pekerjaannya sebagai guru. Dengan demikian, dia bekerja secara totalitas, penuh pengabdian, bahkan bisa mencintai sepenuhnya anak didik sebagaimana dia mencintai anak kandungnya di rumah. Seorang guru hendaknya senantiasa bisa mendoakan keberhasilan murud-muridnya.
Terakhir, pemerintah sebagai Guru Wisesa sebaiknya adalah orang yang benar-benar bisa memerintah rakyatnya dengan baik. Pemerintah seyogyanya dapat menjadi inspirator, serta bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya. Segala gerak-gerik harus mencerminkan sikap yang bisa digugu dan ditiru masyarakatnya. Pemerintah juga harus bisa menjadi sosok yang dicintai dan sekaligus mencintai rakyatnya.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Langganan:
Postingan (Atom)